pengembangan kurikulum, maka kami bagi pembahasan ini
menjadi dua yaitu:
1. Anatomi
(Komponen-komponen Kurikulum)
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun binatang,
yang memiliki susunan anatomi tertentu.unsur-unsur atau komponen-komponen dari
anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau
sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut
berkaitan satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini
meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan,
kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian antara
komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai
dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan
tujuan kurikulum.[1]
1) Tujuan
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah 1975/1976 dikenal kategori tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan
nasional merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal pendidikan bangsa
Indonesia. Tujuan institusional, merupakan sasaran pendidikan sesuatu lembaga
pendidikan. Tujuan kurikuler, adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu
program studi. Tujuan instruksional yang merupakan target yang harus dicapai
oleh sesuatu mata pelajaran. Yang terakhir ini, masih dirinci lagi menjadi
tujuan instruksional umum dan khusus atau disebut juga objektif, yang
merupakan tujuan pokok bahasan.[2]
2) Bahan ajar
Ada
beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu:
a) Sekuens
kronologis. Untuk
menyusun bahan ajar yang mengandung urutan waktu, dapat digunakan sekuens
kronologis. Peristiwa-peristiwa sejarah, perkembangan historis suatu institusi,
penemuan-penemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun berdasarkan skuens
kronologis.
b) Sekuens
kausal. Masih
berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah sekuens kausal. Siswa
dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau
pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain. Dengan mempelajari sesuatu
yang menjadi sebab atau pendahulu para siswa akan menemukan akibatnya. Menurut
Rowntree “skuens kausal cocok untuk menyusun bahan ajar dalam bidang
meteorologi dan geomorfologi”.
c) Sekuens
struktural.
Bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah mempunyai struktur tertentu.
Penyusunan sekuens bahan ajar bidang studi tersebut perlu disesuaikan dengan
strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin mengajarkan alat-alat optik, tanpa
terlebih dahulu mengajarkan pemantulan dan pembiasan cahaya, dan pemantulan dan
pembiasan cahaya tidak mungkin diajarkan tanpa terlebih dahulu mengajarkan
masalah cahaya. Masalah cahaya, pemantulan-pembiasan, dan alat-alat optik
tersusun secara struktural.
d) Sekuens
logis dan psikologis.
Bahan ajar juga dapat disusun berdasarkan urutan logis. Rowntree melihat
perbedaan antarasekuens logis dengan psikologis. Menurut sekuens logis bahan
ajar dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhanakepada
yang kompleks, tetapi menurut sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan
kepada bagian, dari yang kompleks kepada yang sederhana. Menurut sekuens logis
bahan ajar disusun dari yang nyata kepada yang abstrak, dari benda-benda kepada
teori, dari fungsi kepada struktur, dari masalah bagaimana kepada mengapa.
e) Sekuens
spiral,
dikembangkan oleh Bruner. Bahan ajar dipusatkan pada topik atau pokok bahan
tertentu. Dari topik atau pokok tersebut bahan diperluas dan diperdalam. Topik
atau pokok bahan ajar tersebut adalah sesuatu yang popular dan sederhana,
tetapi kemudian diperluas dan diperdalam dengan bahan yang lebih kompleks.
f) Rangkaian ke
belakang. (backward
chaining), dikembangkan oleh Thomas Gilbert. Dalam sekuens ini mengajar dimulai
dengan langkah terakhir dan mundur kebelakang. Contoh, proses pemecahan masalah
yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah, yaitu: (a) Pembatasan masalah (b)
Penyusunan hipotesis, (c) Pengumpulan data, (d) Pengetesan hipotesis, (e)
Interpetasi hasil tes. Dalam mengajarnya mulai dengan langkah, (e) kemudian
guru menyajikan data tentang sesuatu
masalah dari langkah (a) sampai (d),dan siswa diminta untuk membuat
interpretasi hasilnya (e). pada kesempatan lain guru menyajikan data tentang
masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan siswa diminta untuk mengadakan
pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
g) Sekuens
berdasarkan hierarki belajar. Model ini dikembangkan oleh Gagne, dengan
prosedur sebagai berikut: tujuan-tujuan khusus utama pembelajaran dianalisis,
kemudian dicari suatu hierarki urutan bahan ajar untuk mencapai tujun-tujuan
tersebut. Gagne mengemukakan 8 tipe yang tersusun secara hierarkis mulai dari
yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning,
motor-chain learning, verbal association, multiple discrimination, concept
learning, principle learning, dan problem-solving learning.[3]
3) Strategi
mengajar
Penyusunan sekuens bahan ajar
berhubungan erat dengan strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru menyusun
skuens suatu bahan ajar, ia juga harus memikirkan strategi mengajar mana yang
sesuai dengan untuk menyajikan bahan ajar dengan urutan seperti itu.
Ada beberapa strategi yang dapat
digunakan dalam mengajar. Rowntee membagi strategi mengajar itu atas Exposition-Discovery
Learning dan Groups-Individual Learning. Ausubel and Robinson
membaginya atas strategi Reception Learning-Discovery Learning dan Rote
Learning-Meaningful Learning.
a) Reception/Exposition Learning-Discovery Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai
makna yang sama, hanya berbeda dalam pelakunya. Reception learning dilihat
dari sisi siswa sedangkan expotion dilihat dari sisi guru.
b) Rote
Learning-Meaningful Learning.
Dalam rote learning bahan ajar disampaikan
kepada siswa tanpa memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai
bahan ajar dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan
mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausubel and Robinsin sesuatu bahan
ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang ada pada siswa.
c) Group
Learning-Individual Learning.
Pelaksaan discovery learning
menuntut menuntut aktivitas belajar yang bersifat individual atau dalam
kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam bentuk kelas pelaksanaannya
agak sukar dan mempunyai beberapa masalah. Masalah pertama, karena kemampuan
dan kecepatan belajar siswa tidak sama. Dan masalah lain adalah kemungkinan
untuk bekerja sama, dalam kelas besar tidak mungkin semua anak dapat bekerja
sama.
4) Media mengajar
Rowntree mengelompokkan media mengajar
menjadi lima macam dan disebut modes, yaitu Interaksi insani, realita,
pictorial, symbol tertulis, dan rekaman suara.
a) Interaksi
insani. Media ini
merupakan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih. Dalam komunikasi
tersebut kehadiran sesuatu pihak secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi
perilaku yang lainnya. Terutama kehadiran guru mempengaruhi siswa-siswanya.
b) Realita. Realita merupakan bentuk
perangsang nyata seperti orang-orang, bintang, benda-benda, peristiwa, dan
sebagainya yang diamati siswa.
c) Pictorial. Media ini menunjukkan penyajian
sebagai bentuk variasi gambar dan diagram nyata ataupun symbol, bergerak atau
tidak, dibuat diatas kertas, film, kaset, disket, dan media lainnya.
d) Simbol
tertulis, simbol
tertulis merupakan media penyajian informasi yang paling umum, tetapi tetap
efektif. Ada beberapa macam bentuk media simbol tertulis seperti buku teks,
buku paket, paket program belajar, modul, dan majalah-majalah.
e) Rekaman
suara. Berbagi
bentuk informasi dapat disampaikan kepada anak dalam bentuk rekaman suara.[4]
5) Evaluasi
Komponen utama selanjutnya setelah
rumusan tujuan, bahan ajar, strategi mengajar, dan media mengajar adalah
evaluasi dan penyempurnaan. Tiap kegiatan akan memberikan umpat balik, demikian
juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar dan proses pelaksanaan mengajar.
Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan
baik bagi penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan
ajar, strategi, dan media mengajar.
a) Evaluasi hasil belajar-mengajar
Menurut lingkup luas bahan dan jangka waktu
belajar dibedakan antara evaluasiformatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai
penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan belajar dalam jangka waktu yang relatif
pendek.
Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai
penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha
belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau
selama jenjang pendidikan.
b) Evaluasi
pelaksanaan mengajar
Komponen-komponen yang dievaluasi dalam
pengajaran bukan hanya hasil belajar-mengajar tetapi keseluruhan pelaksanaan
pengajaran, yang meliputi evaluasi komponen tujuan mengajar, bahan pengajaran
(yang menyangkut skuens bahan ajar), strategi dan media pengajaran, serta
komponen evaluasi mengajar sendiri.[5]
2. Desain
Kurikulum
Berdasarkan
pada apa yang menjadi fokus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola
desain kurikulum, yaitu:
a.
Subject
centered design, suatu desain kurikulum yang
berpusat pada bahan ajar.
b. Learner
centered design,
suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
c. Problems
centered design,
desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam
masyarakat.
Walaupun bertolak dari hal yang sama,
dalam suatu pola desain terdapat beberapa variasi desain kurikulum. Dalam subject
centered design, dikenal ada: the subject design, the disciplines design
dan the broad fields design. Pada problems centered design
dikenal pula dengan areas of living design dan the core design.
3.
Dasar Pengembangan Kurikulum
a. Kurikulum
merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang
disediakan bagi siswa disekolah. Merupakan tempat untuk melaksanakan dan
menguji kurikulum. Disana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode,
alat dan kemampuan guru diuji untuk mewujudkan kurikulum yang nyata dan hidup
sesuai dengan tuntutan dan tantangan perkembngan masyarakat.[6]
b. Dengan prinsip
dan model pengembangan kurikulum yang telah dikembangakan dalam lembaga
pendidikan akan lebih jelas jika kita memandang kurikulum sebagai sebuah
komponen dasar dan tubuh kurikulum dengan komponen ini akan lebih jelas dalam
mengerahkan anak didik sebagai subyek didik yang harus dikembangkan. Menurut
Nana Syaodih komponen kurikulum terdiri dari :
1) Tujuan-tujuan
kurikulum
2) Bahan ajar
(materi)
3) Strategi
(metode)
4) Media (alat)
5) Evaluasi
pengajaran
Evaluasi
ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta
menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan
memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar
dan proses pelaksanaan mengajar.[7]
4. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Seiring
perkembangan tatanan masyarakat yang ditandai oleh perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, tuntutan adanya kurikulum yang sesuai dengan zamannya
menjadi relevan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kurikulum menurut Nana
Syaodih adalah :
a. Perguruan
tinggi, dimana perguruan tinggi mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangan dalam perkembangan
dalam pendidikan serta persiapan guru (tenaga pendidik) yng memahami terhadap
bidangnya.
b. Masyarakat,
sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk hidup
dimasyarakat.
c. Sistem nilai,
dimana lingkungan terdapat sistem nilai yang menentukan sekolah sebagai lembaga
pendidikan yang dibentuk oleh masyarakat hendaknya mampu memelihara dan
meneruskan nilai-nilai pemahaman nilai hendaknya tidak dipahami secara kognitif
dan menghafal tetapi tetapi perlu internalisasi nilai-nilai terhadap siswa.[8]
5. Hambatan-hambatan
Dalam pengembangan kurikulum terdapat
beberapa hambatan antara lain:
a) Kemampuan guru,
hambatan yang dilami karena kurang waktu, kurang kerjasama dengan guru lain,
pengetahuan yang kurang.
b)
Masyarakat
sebagai umpan balik
c)
Biaya
sebagai kekuatan finansial.[9]
Sedangkan
Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan suatu konsep kurikulum yang menekankan
pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar
performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserts didik,
berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum Berbasis
Kompetensi diarahkan untuk mengembangkan kemampuan, pemahaman, pengetahuan,
nilai, sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk
kemahiran ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.[10]
Kurikulum
ini sendiri sebagai pergeseran penekanan dari content atau isi (apa yang
tertuang) ke kompetensi (bagaimana harus berfikir, belajar dan melakukan) dalam
kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat dibilang sebagai kurikulum
humanistik, karena kurikulum humanistik lebih memberikan tempat utama kepada
anak didik.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa,
baik secara individual maupun klasikal.
2)
Berorientasi pada hasil belajar dan
keberagaman.
3)
Penyampaian pada pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi.
4)
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga
sumber belajar yang lainnya memenuhi unsure edukatif.
5)
Penilaian menekankan pada proses dan hasil
dalam upaya penguasa atau pencapaian suatu kompetensi.[11]
Sedangkan
kalau kita melihat konsep kurikulum bahwa dalam upaya menerapkan,
mengimplementasikan dan mengelola kurikulum memiliki peranan yang meliputi :
a) Peranan
Konservatif
Kurikulum harus mampu
menafsirkan dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam masyarakat
yang mengandung makna dalam membina perilaku anak didik.
b) Peranan Kreatif
Kurikulum harus mampu
melaksanakan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti harus
menyusun atau mendesain pengalaman belajar yang bersumber dari masyarakat dan
dibuat dalam bentuk mata pelajaran yang akan disajikan pada anak didik. Upaya
ini dapat membantu mengembangkan semua potensi yang ada pada anak didik. Dengan
demikian, kurikulum diharapkan akan dapat membawa para siswa menuju masyarakat
yang berbudaya, ini berarti bahwa kurikulum harus mampu mendorong dan membuat
para siswa berkembang daya kreatifnya.
c) Peran Kritis
dan Evaluatif
Kurikulum amat berperan
aktif sebagai kontrol sosial dan menekankan pada unsur berfikir kritis.[12]
Jadi
sebuah kurikulum itu harus memiliki peranan aktif dan evaluatif guna
pengembangan dalam proses belajar.
Maka dari itu Kurikulum Berbasis
Kompetensi harus bisa berperan secara konservatif, kreatif, kritis dan
evaluatif, sehingga mampu menciptakan sumber daya manusia (out put pendidikan)
yang perofesional dan kreatif.
[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, Cet. Ketiga, 2000), hlm. 102.
[2] Ibid., hlm. 103.
[3] Ibid., hlm. 105-107
[4] Ibid., hlm. 108-109.
[5] Ibid., hlm. 110-112.
[8] Nana Syaodih, Op. Cit, hlm.
158-159
[9] Nana Syaodih, Pengembangan
kurikulum, op.cit, hlm. 160-161.
[10] Hilda Taba, dalam tulisan S.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 39.
[11] Departemen Pendidikan Nasional, Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang, 2002),
hlm. 3.
[12] Iskandar Wiryokusumo, Usman
Mulyadi, Dasar Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hlm. 7-9.
Bagus, sangat manfaat sekali
ReplyDelete