Saturday, May 11, 2013

PONDOK PESANTREN

A.    Pondok Pesantren
1.  Pengertian Pondok Pesantren
Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam yang melembaga di Indonesia, dimana kyai dan santri hidup bersama dalam suatu asrama yang memiliki bilik-bilik kamar sebagai ciri-ciri esensialnya dengan berdasarkan nilai-nilai agama Islam. Pondok pesantren mempunyai 5 elemen dasar yaitu pondok, mesjid, pengajaran kitab-kitab klasik Islam, santri dan kyai.
Kelima elemen di atas merupakan elemen dasar yang dimiliki sebuah pesantren. Pesantren dikatakan lengkap apabila telah memiliki kelima elemen di atas dan masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dalam pembinaan santri melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan baik dalam bidang fisik maupun mental santri di pondok pesantren.
15
 
Pondok pesantren melaksanakan pendidikan keagamaan yang bersumber dari karya-karya Islam klasik. Pondok pesantren sebagai pusat pedalaman ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din), pondok pesantren masih tetap diakui oleh masyarakat karena beranggapan bahwa pendidikan keperibadian pesantren lebih unggul dibandingkan pendidikan sekolah atau madrasah. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang didirikan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Istilah pesantren telah akrab pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum.
Kata pondok pesantren terdiri dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Jika ditelusuri, kata ini tidak seutuhnya berasal dari bahasa Indonesia. Akar kata pondok disinyalir terambil dari bahasa Arab, “funduk” yang berarti hotel atau asrama[1]. Menurut Manfred Dalam Ziemek (1986) kata pesantren berasal dari kata “santri” yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri.[2]
Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada pesantren disebut santri yang umumnya menetap di pesantren. Tempat dimana para santri menetap, di lingkungan pesantren, disebut dengan istilah pondok. Dari sinilah timbul istilah pondok pesantren.[3]

M. Arifin memberikan defenisi pondok pesantren sebagai berikut :

“Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari Leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independent dalam segala hal”.[4]

Lembaga Research Islam (pesantren luhur), sebagaimana dikutip oleh Mujamil Qamar, mendefenisikan pesantren sebagai “suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya”. Dalam penelitian ini, Mujamil Qamar memberikan defenisi pesantren yang lebih singkat, yaitu “suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanent”.[5]
Jadi, yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik (santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri) sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Pada tahun 1979, Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 tahun 1979 yang mengungkapkan bentuk pondok pesantren :
a)      Pondok pesantren tipe A, yaitu pondok pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajarannya yang berlangsung secara tradisional (wetonan atau sorongan).
b)      Pondok pesantren tipe B, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasy) dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi dan diberikan pada waktu-waktu tertentu. Para santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
c)      Pondok pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut.
d)     Pondok pesantren tipe D, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah dan madrasah.[6]

Bentuk pondok pesantren seperti yang diungkapkan di atas merupakan upaya pemerintah dalam memberikan batasan atau pemahaman yang lebih mengarah kepada bentuk pondok pesantren. Walaupun demikian, sesungguhnya perkembangan pondok pesantren tidak terbatas pada empat bentuk tadi, namun dapat lebih beragam banyaknya. Bahkan dari tipe yang samapun terdapat perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lain tidak sama.
Dari berbagai tingkatan konsistensi dengan sistem lama dan keterpengaruhan oleh sistem modern, secara garis besar pondok pesantren dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu :
a)      Pondok Pesantren Salafiyah
 Salaf artinya “lama”, ”dahulu”, atau “tradisional”. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab.
b)      Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashriyah)
 Khalaf artinya “kemudian” atau “belakangan”, sedangkan “ashri” artinya “sekarang” atau “modern”. Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern, melalui satuan pendidikan formal, baik madrasah (MI, MTs, MA atau MAK), maupun sekolah (SD, SMP, SMA dan SMK) atau nama lainnya.
c)      Pondok Pesantren Campuran/kombinasi
 Pondok pesantren salafiyah dan khalafiyah sebagaimana penjelasan di atas. Sebagian besar yang ada sekarang adalah pondok pesantren yang berada di antara rentangan dua pengertian di atas. Sebagian besar pondok pesantren yang mengaku dan menamakan diri pesantren salafiyah, pada umumnya juga menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang[7].
Sedangkan menurut Zamakhsyari Dhofier pesantren terbagi dua yaitu:
  1. Pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorongan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
  2. Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe-tipe sekolah umum seperti SMP, SMA, dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya.[8]

Untuk melihat pergeseran bentuk pondok pesantren pada zaman dahulu hingga sekarang, dapat diklafikasikan dari tiga tipologi pondok pesantren yang pernah berkembang, yaitu :
a)      Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal (sistem bandungan dan sorongan), dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
b)      Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek pesantren, namun tinggal tersebar di sekitar penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong) dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri dating berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
c)      Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandungan, sorongan ataupun wetonan, dengan para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok pesantren modern memenuhi kriteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing[9].

Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa pondok pesantren memiliki program pendidikan yang disusun sendiri (mandiri) di mana program ini mengandung proses pendidikan formal, non formal maupun informal yang berlangsung sepanjang hari dalam satu pengkondisian di asrama. Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa pondok pesantren secara institusi atau kelembagaan dikembangkan untuk mengefektifkan dampaknya, pondok pesantren bukan saja sebagai tempat belajar melainkan merupakan  proses hidup itu sendiri, pembentukan watak dan pengembangan sumber daya.[10]
Perubahan dan perkembangan sistem  pendidikan pondok pesantren dipengaruhi beberapa faktor selain tuntutan zaman, seperti; tuntutan kesiapan pondok pesantren mengimbangi lembaga pendidikan lain yang dianggap siap pakai. Di samping itu ada hal lain yang menyebabkan sistem pondok pesantren mengalami pergeseran, seperti; modernisasi sistem pendidikan, faktor penjajahan dan sebagainya. Kendatipun terdapat pergeseran dan perubahan, sistem yang dikembangkan pondok pesantren, subtansinya tidak mengalami perubahan. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan masih tetap dipertahankan, sementara beberapa pondok pesantren berjalan dengan segala tradisi yang mewarisinya, secara turun temurun tanpa variasi.
2.  Dasar dan Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Sebagai institusi pendidikan, pondok pesantren di Indonesia harus memiliki landasan yang jelas secara yuridis. Hal ini memiliki implikasi terhadap akreditas sebuah lembaga tersebut, akreditasi tersebut terkait dengan pengakuan alumni pondok pesantren itu sendiri. Pada awal-awal tumbuh dan berkembangnya pondok pesantren, akreditas sudah cukup bila kyai memberikan “ijazah” terhadap santri. Tuntutan zaman menghendaki perubahan dan akreditas dalam bentuk lain, oleh sebab itu pondok pesantren harus mempunyai legalitas.
Keberadaan sebuah institusi di Indonesia harus memiliki dasar hukum yang jelas, dan tidak keluar dari perundang-undangan yang berlaku. Seperti institusi lain, pondok pesantren (lembaga pendidikan) memiliki landasan yuridis formal yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, khususnya bab II pasal 2 dan 3 :
“Pendidikan Nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[11]

Landasan yang disebutkan di atas memuat prinsip-prinsip umum pendidikan dan hak setiap warga negara dalam memperoleh dan memajukan pendidikan. Memperoleh pendidikan bisa didapati melalui lembaga pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dan swasta. Sedangkan memajukan pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk menyediakan institusi pendidikan yang dikelola oleh pihak swasta.
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan swasta yang didirikan oleh perseorangan (kyai) sebagai figur central yang berdaulat menetapkan tujuan pendidikan pondoknya adalah mempunyai tujuan tidak tertulis yang berbeda-beda. Sikap filosofis para kyai secara individual tidak sama, ada yang luas ada yang sempit. Tujuan tersebut dapat diasumsikan sebagai berikut:
1.      Tujuan khusus : “mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat”.
2.      Tujuan umum : “membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat melalui ilmu dan amalnya”.[12]
Menurut Muzayyin Arifin tujuan pondok pesantren dapat dikelompokkan pada dua kategori, yaitu :
1.   Tujuan umum
Membentuk mubalig-mubalig Indonesia berjiwa Islam yang pancasialis yang bertakwa, yang mampu baik rohaniah maupun jasmaniah mengamalkan ajaran agama Islam bagi kepentingan kebahagiaan hidup diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta negara Indonesia.
  1. Tujuan khusus/Intermediair
a.       Membina suasana hidup keagamaan dalam pondok pesantren sebaik mungkin sehingga terkesan pada jiwa anak didiknya (santri)
b.      Memberikan pengertian keagamaan melalui pengajaran ilmu agama Islam
c.       Mengembangkan sikap beragama melalui praktik-praktik ibadah
d.      Mewujudkan ukhuwah Islamiah dalam pondok pesantren dan sekitarnya.
e.       Memberikan pendidikan keterampilan, civic dan kesehatan, serta olah raga kepada anak didik
f.       Mengusahakan terwujudnya segala fasilitas dalam pondok pesantren yang memungkinkan pencapaian tujuan umum tersebut.[13]
Pendidikan dan pembinaan pada setiap pondok pesantren memiliki tujuan sendiri-sendiri yang menjadi ciri khasnya. Namun menurut Nurcholish Madjid, ketidaktegasan pondok pesantren dalam merumuskan tujuan dan langkah pembinaan yang menjadikan pesantren sering tertinggal bila dibandingkan dengan pendidikan umum. Faktor yang dianggap mempengaruhi kaburnya tujuan pendidikan pondok pesantren sering dipengaruhi semangat pendiri pondok pesantren.[14]
Menurut Nurcholish Madjid, tujuan pembinaan santri pada pondok pesantren adalah “membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan nilai-nlai yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan respons terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu”.[15]

Jika mengikuti tujuan yang dikemukakan oleh Nurcholish, tergambar bahwa semua pondok pesantren telah mampu menjadikan manusia memiliki kesadaran Islam adalah nilai yang mencakup seluruh kehidupan. Tetapi bila dilihat dari kesiapan pondok pesantren dalam melakukan pembinaan dan pendidikan untuk menjawab tantangan zaman, tidak seluruh pondok pesantren mampu. Hal ini disebabkan oleh orientasi dan motivasi pondok pesantren tersebut.
Oleh sebab itu perumusan kembali metode pembinaan dan pendidikan santri pada pondok pesantren sehingga memiliki kesiapan dalam menjawab tantangan zaman. Pembinaan dan pendidikan menjadi bagian terpenting dalam mewujudkan keberhasilan, sehingga perlu penyisipan aspek umum yang dianggap penting. Dengan demikian, pendidikan dan pembinaan santri pada pondok pesantren lebih bersifat holistik.


[1] Hasbullah, Kapita Selekta Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999), h. 40
[2] http://muslim-madjid.blog. Friendster. com/tulisan artikel
[3] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), h. 1
[4] Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2005), h. 2
[5] Ibid
[6] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Proyek Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah pada Pondok Pesantren, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta : 2003), h. 24-25
[7] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, op. cit, 29-30
[8] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet pertama, h. 83-87
[9] Hasbullah, loc, cit, h. 45-46
[10] Departemen Agama RI, op, cit, h. 83
[11]  Menteri Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, tentang SISDIKNAS, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 5-6
[12] M. Arifin, Kafita Selekta Pendidikan islam (Islam dan Umum), (Jakarta, Bumi Aksara, 1995), h. 248
[13] Ibid, h. 249-250
[14] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta : Paramadina, 1997), h. 6
[15] Ibid, h. 6

METODE PEMBALAJARAN



A.    Metode Pembelajaran
1.      Pengertian Metode Pembelajaran
Dalam mencapai suatu tujuan maka digunakan metode yang tepat, agar sesuai dengan apa yang diharapkan dalam mencapai tujuan pendidikan. Metode adalah: seperangkat acara, jalan dan teknik yang harus dimiliki dan dipergunakan oleh pendidik dalam upaya menyampaikan dan memberikan pendidikan serta pengajaran kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang termuat dalam kurikulum yang telah dicantumkan.[1] Dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak-anak agar berhasil dengan baik diperlukan metode yang tepat dan sesuai, karena metode mengajar merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan tercapainya suatu tujuan pendidikan.
Adapun usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan metode pendidikan agama Islam antara lain:
a.       Mengingat dalam penggunaan metode mengajar harus disesuaikan dengan materi dan perkembangan anak didik, sehingga dengan penggunaan metode yang tepat, siswa akan lebih mudah dalam memahami pelajaran yang disampaikan.
b.      Guru hendaknya benar-benar memahami dan mengerti tentang berbagai metode mengajar serta cara menggunakannya. Seorang guru yang merasa sesuai dengan metode tertentu, belum tentu cocok dengan guru yang lain. Hal ini tergantung atau dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing guru tersebut.
c.       Tiap-tiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan, maka diharapkan guru dapat memilih metode yang sesuai dengan materi yang disajikan.
d.      Dalam menyampaikan materi, hendaknya tidak memisahkan metode yang satu dengan metode yang lain, tetapi sedapat mungkin untuk dikombinasikan agar dapat saling melengkapi kekurangan dari metode-metode yang ada
e.       Dalam pemakaian suatu metode perlu diperhatikan perkembangan dunia pendidikan dan pengajaran, karena metode tersebut tidak dapat dipakai seterusnya, tetapi berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tentunya masyarakat sebagaimana telah dikatakan Zuhairini, yaitu: “penerapan metode tidak berlaku secara dinamis, untuk bisa menyesuaikan perkembangan dan dinamika itu, maka metode harus disertai oleh penelitian dan evaluasi yang dilakukan secara kontinue, dengan demikian perbaikan dan revisi dari masa ke masa tidak mungkin diabaikan.[2]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa penggunaan metode pengajaran dalam proses belajar mengajar sangat penting dan sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan. Dalam hal ini Abu Ahmadi menyatakan dasar-dasar dalam pemilihan metode pengajaran agama Islam, yaitu:
1)   Sesuai dengan tujuan pengajaran agama Islam
2)   Sesuai dengan jenis-jenis kegiatan yang tercakup dalam pengajaran agama Islam
3)   Menarik perhatian siswa
4)   Maksudnya harus dipahami siswa
5)   Sesuai dengan kecakapan guru.[3]
Dengan memperhatikan betapa pentingnya pengaruh metode mengajar dalam proses belajar mengajar, maka hendaknya para guru harus menguasainya secara terampil dalam menggunakannya.
Metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik secara individual atau secara kelompok. Agar tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, seorang guru harus mengetahui berbagai metode. Dengan memiliki pengetahuan mengenai sifat berbagai metode, maka seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Penggunaan metode mengajar sangat bergantung pada tujuan pembelajaran.
Syarat-syarat yang harus diperhatikan oleh seorang guru dalam penggunaan metode pembelajaran adalah sebagai berikut :
1.      Metode yang dipergunakan harus dapat membangkitkan motif, minat, atau gairah belajar siswa.
2.      Metode yang digunakan dapat merangsang keinginan siswa untuk belajar lebih lanjut.
3.      Metode yang digunakan harus dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk mewujudkan hasil karya.
4.      Metode yang digunakan harus dapat menjamin perkembangan kegiatan kepribadian siswa.
5.      Metode yang digunakan harus dapat mendidik murid dalam teknik belajar sendiri dan cara memperoleh pengetahuan melalui usaha pribadi.
6.      Metode yang digunakan harus dapat menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap siswa dalam kehidupan sehari-hari.[4]
2.      Kedudukan Metode Dalam Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi adalah sebagai suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Salah satu usaha yang tidak pernah guru tinggalkan adalah bagaimana memahami, kedudukan metode sebagai salah satu komponen yang ikut ambil bagian bagi keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Dan analisis yang dilakukan, lahirlah pemahaman tentang kedudukan metode sebagai alat motivasi extrinsic, sebagai strategi pengajaran dan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
3.      Macam-Macam Metode Pembelajaran
Permasalahan yang seringkali dijumpai dalam pengajaran, khususnya pengajaran agama Islam adalah bagaimana cara menyajikan materi kepada siswa secara baik sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Di samping itu juga sering didapati kurangnya perhatian guru agama terhadap variasi penggunaan metode mengajar dalam upaya peningkatan mutu pengajaran secara baik.
Pemakaian metode harus sesuai  dan selaras  dengan karakteristik siswa, materi, kondisi lingkungan (setting) di mana pengajaran berlangsung. Bila ditinjau secara lebih teliti sebenarnya keunggulan suatu metode terletak pada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain; tujuan, karakteristik siswa, situasi dan kondisi, kemampuan dan pribadi guru, serta sarana dan prasarana yang digunakan.
 Secara garis besar metode mengajar dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian, yakni :
a.       Metode mengajar konvensional, dan
b.      Metode mengajar inkonvensional.
Metode mengajar konvensional yaitu metode mengajar yang lazim dipakai oleh guru atau sering disebut metode tradisional. Sedangkan metode mengajar inkonvensional yaitu suatu teknik mengajar yang baru berkembang dan belum lazim digunakan secara umum, seperti metode mengajar  dengan modul, pengajaran berprogram, pengajaran unit, machine program, masih merupakan metode yang baru dikembangkan dan diterapkan di beberapa sekolah tertentu yang mempunyai peralatan dan media yang lengkap serta guru-guru yang ahli menanganinya.[5]
Sedangkan metode-metode konvensional yang lazim dipakai oleh guru, antara lain :
1.      Metode ceramah
Sudah sejak lama ceramah digunakan oleh para guru dengan alasan keterbatasan waktu dan buku teks.  Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan menganggap metode ceramah sebagai metode belajar-mengajar yang mudah digunakan. Kecenderungan ini bertentangan dengan kenyataan bahwa tidak setiap guru dapat menggunakan metode ceramah dengan benar. Metode ceramah bergantung kepada kualitas personalities guru, yakni suara, gaya bahasa, sikap, prosedur, kelancaran, kemudahan bahasa, dan keteraturan guru dalam memberi penjelasan: yang tidak dapat dimiliki secara mudah oleh setiap guru.
Metode ceramah adalah suatu cara mengajar atau penyajian materi melalui penuturan dan penerapan lisan oleh guru kepada siswa. agar siswa efektif dalam proses belajar mengajar yang menggunakan metode ceramah, maka siswa perlu dilatih mengembangkan keterampilan berpikir untuk memahami suatu proses dengan cara mengajukan pertanyaan, memberikan tanggapan dan mencatat penalarannya secara sistematis.[6]
Berdasarkan definisi metode ceramah di atas, dapat kiranya kita mendefinisikan metode ceramah sebagai sebuah bentuk interaksi belajar-mengajar yang dilakukan melalui penjelasan dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap sekelompok peserta didik.
Berdasarkan definisi metode ceramah, dapat dimengerti jika guru akan menjadi pusat/titik tumpuan keberhasilan metode ceramah. Lalu lintas pembicaraan atau komunikasi hanya searah yakni dari guru ke para siswa.
2.      Metode diskusi
            Diskusi adalah suatu kegiatan kelompok untuk memecahkan suatu masalah dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk merampungkan keputusan bersama. Dalam diskusi tiap orang diharapkan memberikan sumbangan sehingga seluruh kelompok kembali dengan pemahaman yang sama dalam suatu keputusan atau kesimpulan.[7]
                Gage dan Berliner mengemukakan bahwa metode diskusi sungguh-sungguh terbuka atau bervariasi pengertiannya. Ini merupakan suatu indikasi betapa sulitnya mendefinisikan metode diskusi secara tepat.  Girlstrap dan Martin mengutarakan bawah metode diskusi merupakan suatu kegiatan di mana sejumlah orang membicarakan secara bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah, atau untuk mencari jawaban dari suatu masalah berdasarkan semua fakta memungkinkan untuk itu.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode diskusi adalah suatu kegiatan belajar-mengajar yang membicarakan suatu topik atau masalah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih (dapat guru dan siswa dan siswa lain). Di mana orang yang berbincang memiliki perhatian yang sama terhadap topik atau masalah yang menjadi pokok pembicaraan, sehingga mendapatkan berbagai alternatif jawaban terhadap topik yang didiskusikan.
3.      Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan siswa. Guru bertanya siswa menjawab atau siswa bertanya guru menjawab. Dalam komunikasi ini terlihat adanya hubungan timbal balik secara langsung antara guru.
Tujuan yang akan dicapai dari metode tanya jawab.
1)      Untuk mengetahui sampai sejauh mana materi pelajaran yang telah dikuasai oleh siswa.
2)      Untuk merangsang siswa berfikir.
3)      Memberi kesempatan pada siswa untuk mengajukan masalah yang belum dipahami.
4.      Metode demonstrasi
Demonstrasi merupakan metode yang sangat efektif, sebab membantu siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta atau data yang benar. Metode demonstrasi merupakan metode penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan kepada siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekadar tiruan. Sebagai metode penyajian, demonstrasi tidak terlepas dari penjelasan secara lisan oleh guru. Walaupun dalam proses demonstrasi peran siswa hanya sekadar memperhatikan, akan tetapi demonstrasi dapat menyajikan bahan pelajaran lebih konkrit. Dalam strategi pembelajaran, demonstrasi dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori dan inkuiri.
5.      Metode resitasi
Metode tugas dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi lebih luas dari itu. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individu atau kelompok. Tugas dan resitasi bisa dilaksanakan di rumah, di sekolah, di perpustakaan dan tempat lainnya.
Jenis-jenis tugas sangat banyak tergantung pada tujuan yang akan dicapai, seperti tugas meneliti, menyusun laporan, dan tugas di laboratorium.
6.      Metode kerja kelompok
Kerja kelompok merupakan salah satu metode belajar-mengajar yang memiliki kadar CBSA yang tinggi. Metode kerja kelompok menuntut persiapan yang jauh berbeda bila dibandingkan dengan format belajar-mengajar ekspositori. Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan strategi ekspositorik, memerlukan waktu untuk berlatih menggunakan metode kerja kelompok. Anda dapat mengkajinya melalui pembahasan berikut ini.
Istilah kelompok dapat diartikan sebagai bekerjanya sejumlah siswa, baik sebagai anggota kelas secara keseluruhan atau sudah terbagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara bersama-sama. Selain itu, kerja kelompok juga ditandai oleh:
1)      Adanya tugas bersama,
2)      Pembagian tugas dalam kelompok, dan
3)      Adanya kerja sama antara anggota kelompok dalam penyelesaian tugas kelompok.
Berpijak pada pengertian kerja kelompok di atas, maka metode kerja kelompok dapat diartikan sebagai format belajar-mengajar yang menitikberatkan kepada interaksi antara anggota yang satu dengan anggota yang lain dalam suatu kelompok guna menyelesaikan tugas-tugas belajar secara bersama-sama.
Pengertian metode kerja kelompok yang demikian membawa konsekuensi kepada setiap guru yang akan menggunakannya. Konsekuensi tersebut adalah guru harus benar-benar yakin bahwa topik yang dibicarakan layak untuk digunakan dalam kerja kelompok. Tugas yang diberikan kepada kelompok hendaknya dirumuskan secara jelas. Dalam pemakaian metode kerja kelompok, tugas yang diberikan dapat sama untuk setiap kelompok (tugas paralel) atau berbeda-beda tetapi saling mengisi untuk setiap kelompok (tugas komplementer).
7.      Metode sosiodrama dan bermain peran.
Metode sosiodrama dan bermain peran merupakan teknik mengajar yang banyak kaitannya dengan pendemonstrasian kejadian-kejadian yang bersifat sosial. Menurut Engkoswara: metode sosiodrama adalah suatu drama tanpa naskah yang akan dimainkan oleh sekelompok orang. Biasanya permasalahan cukup diceritakan dengan singkat dalam tempo  4 atau 5 menit, kemudian anak menerangkannya. Persoalan pokok yang akan didramatisasikan diambil dari kejadian-kejadian sosial.[8]

B.     Metode Sosiodrama
1.      Pengertian Metode Sosiodrama
Menurut Sulaiman Sahlan : Bila ingin terwujudnya siswa yang
berhasil belajarnya baik dan kreativitas yang tinggi, maka satu-satunya cara
adalah dengan mengembangkan kemampuan kreativitas terutama kreativitas belajar.[9] Salah satu cara agar dapat meningkatkan kreativitas belajar siswa, adalah dengan menggunakan metode sosiodrama.
Sosiodrama berasal dari kata sosio yang artinya masyarakat, dan darma yang artinya keadaan orang atau peristiwa yang dialami orang, sifat dan tingkah lakunya, hubungan seseorang, hubungan seseorang dengan orang lain dan sebagainya.
Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkannya.[10]
Metode sosiodrama merupakan teknik mengajar yang banyak kaitannya dengan pendmonstrasian kejadian-kejadian yang bersifat sosial. Menurut Engkoswara: metode sosiodrama adalah suatu drama tanpa naskah yang akan dimainkan oleh sekelompok orang. Biasanya permasalahan cukup diceritakan dengan singkat dalam temp 4 atau 5 menit, kemudian anak menerangkannya. Persoalan pokok yang akan didramatisasikan diambil dari kejadian-kejadian sosial, oleh karena itu dinamakan metode sosiodrama.[11]
Metode ini sebagai prinsip dasarnya terdapat di dalam al-Quran, di mana terjadinya suatu drama yang sangat mengesankan antara Qabil dan Habil. Firman Allah SWT :

* ã@ø?$#ur öNÍköŽn=tã r't6tR óÓo_ö/$# tPyŠ#uä Èd,ysø9$$Î/ øŒÎ) $t/§s% $ZR$t/öè% Ÿ@Îm6à)çFsù ô`ÏB $yJÏdÏtnr& öNs9ur ö@¬6s)tFムz`ÏB ̍yzFy$# tA$s% y7¨Yn=çFø%V{ ( tA$s% $yJ¯RÎ) ã@¬7s)tGtƒ ª!$# z`ÏB tûüÉ)­FßJø9$# ÇËÐÈ   .ûÈõs9 |MÜ|¡o0 ¥n<Î) x8ytƒ ÓÍ_n=çFø)tGÏ9 !$tB O$tRr& 7ÝÅ$t6Î/ yÏtƒ y7øs9Î) y7n=çFø%L{ ( þÎoTÎ) Ú%s{r& ©!$# ¡>u tûüÏJn=»yèø9$# ÇËÑÈ   þÎoTÎ) ߃Íé& br& r&þqç6s? ÏJøOÎ*Î/ y7ÏÿùSÎ)ur tbqä3tFsù ô`ÏB É=»ysô¹r& Í$¨Y9$# 4 y7Ï9ºsŒur (#ätÂty_ tûüÏHÍ>»©à9$# ÇËÒÈ   ôMtã§qsÜsù ¼çms9 ¼çmÝ¡øÿtR Ÿ@÷Fs% ÏmŠÅzr& ¼ã&s#tGs)sù yxt6ô¹r'sù z`ÏB šúïÎŽÅ£»sƒø:$# ÇÌÉÈ   y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7tƒ Îû ÇÚöF{$# ¼çmtƒÎŽãÏ9 y#øx. ͺuqムnouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& Ÿ@÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓŁr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$# ÇÌÊÈ  

Artinya :  “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”[12]

Berdasarkan beberapa defenisi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa metode pembelajaran sosiodrama adalah model pembelajaran bermain peran dengan mendramatisasi kehidupan nyata atau konflik yang belum terselesaikan dan sistem sosial yang membentuk kita secara individu dan kolektif.
Metode sosiodrama cocok digunakan bilamana:
1)       Pelajaran dimaksudkan untuk menerangkan peristiwa yang dialami dan menyangkut orang banyak berdasarkan pertimbangan didaktis
2)       Pelajaran tersebut dimaksudkan untuk melatih agar menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat psikologis
3)       Untuk melatih siswa agar dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta permasalahannya.[13]
Ada beberapa peranan sosiodrama. Berikut merupakan deskripsi mengenai peranan sosiodrama:
1)      Pelajaran dimaksudkan untuk melatih dan menanamkan pengertian dan perasaan seseorang
2)      Pelajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial dan rasa tanggung jawab dalam memikul amanah yang telah dipercayakan
3)      Jika mengharapkan partisipasi kolektif dalam mengambil suatu keputusan
4)      Apabila dimaksudkan untuk mendapatkan ketrampilan tertentu sehingga diharapkan siswa mendapatkan bekal pengalaman yang berharga, setelah mereka terjun dalam masyarakat kelak
5)      Dapat menghilangkan malu, dimana bagi siswa yang tadinya mempunyai sifat malu dan takut dalam berhadapan dengan sesamanya dan masyarakat dapat berangsur-angsur hilang, menjadi terbiasa dan terbuka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
6)      Untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki oleh siswa sehingga amat berguna bagi kehidupannya dan masa depannya kelak, terutama yag berbakat bermain drama, lakon film dan sebagainya.[14]
            Keuntungan-keuntungan/kebaikan-kebaikan yang diperoleh dengan melaksanakan metode sosiodrama :
1)      Untuk mengajar peserta didik supaya ia bisa menempatkan dirinya dengan orang lain.
2)      Guru dapat melihat kenyataan yang sebenarnya dari kemampuan perserta didik
3)      Sosiodrama menimbulkan diskusi yang hidup.
4)      Peserta didik akan mengerti sosial psychologis.
5)      Metode sosiodrama dapat menarik minat peserta didik.
6)      Melatih peserta didik uuntuk berinisiatif dan berkreasi.
3.      Kelemahan metode sosiodrama
      Kelemahan-kelemahan/ kekurangan-kekurang metode sosiodrama
1)      Sukar untuk memilih anak-anak yang betul-betul berwatak untuk memecahkan masalah tersebut.
2)      Perbedaan adat istiadat kebiasaan dan kehidupan. Kehidupan dalam suatu masyarakat akan mempersulit pelaksanaannya.
3)      Anak-anak yang tidak mendapat giliran akan menjag pasif.
4)      Kalau metode ini dipakainya untuk tujuan yang tidak layak.
5)      Kalau guru kurang bijaksana tujuan yang dicapai tidak memuaskan.
            Pelaksanaan sosiodrama dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1)      Persiapan
Dalam tahap ini perlunya menentukan pokok masalah yang akan didramatisasikan, menentukan para pemain, dan mempersiapkan para siswa sebagai pendengar yang menyaksikan jalannya cerita. Masalah yang akan di dramtisasikan dipilih secara bertahap dimulai dari persoalan yang sedrhana dan dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya yang agak sukar dan lebih bervariasi. Pemilihan para pelaku hendaknya secara sukarela, atau bila tidak munkin, sebaiknya guru menunjuk siswa yang dianggap cocok memainkan peran.
2)      Permainan sosiodrama.
Setelah masalah dan pemainnya disiapkan, diminta kepada mereka untuk mendramatisasikan masalah yang diminta selama 4 – 5 menit menurut pendapat dan inisiasitif mereka sendiri. Diharapkan dari peran yang mereka lakukan secara spontan dapat mewujudkan jalannya cerita dan guru hanya mengawasi atau memberikan kebebasan kepada siswa. Bila terjadi kemacetan sebaiknya guru cepat bertindak dengan menunjuk siswa lain untuk menggantikannya, atau siswa yang memainkan peran tersebut diberikan isyarat agar mereka dapat membetulkan permainannya. Pelaksanaan sosiodrama ini tidak perlu selesai dan dapat digantikan oleh siswa lainnya.
3)      Tindak Lanjut
Sosiodrama tidak hanya berakhir pada pelaksanaan dramatisasi, melainkan dapat dilanjutkan dengan Tanya jawab, diskusi, kritik atau analisis persoalan. Bila dipandang perlu, siswa lainnya mengulang kembali untuk memainkan peranan yang lebih baik jika dramatisasi yang lalu dirasa kurang memuaskan.[15]
5.      Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan sosiodrama
1)      Masalah yang dijadikan tema berita hendaknya dialami oleh sebagian besar peserta didik-murid.
2)      Penentuan pemeran hendaknya secara sukarela dan motivasi diri guru.
3)      Jangan terlalu banyak "disutradarai", biarkan peserta didik mengembangkan kreatifitas dan spontanitas mereka.
4)      Diskusi diarahkan kepada penyelesaian akhir (tujuan), bukan kepada baik atau tidaknya seseorang peserta didik berperan.
5)      Kesimpulan diskusi dapat diresumekan oleh guru.
6)      Sosiodrama bukanlah sandiwara atau Drama saja, melainkan merupakan peranan situasi sosial yang ekspresi dan hanya dimainkan satu babak saja


[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 156
[2] Zuhairini dkk, Metodologi Pendidikan Islam, (Solo: Ramadani, 1993), h. 199
[3] Ibid, h. 104
[4] Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, Jakarta : Quantum teaching, 2005, h. 52-53
[5] Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), h.32-33
[6] Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, Quantum Teaching, 2005, h. 121
[7]  Ahmad Sabri, op. cit., h. 56
[8] Basyiruddin Usman, op. cit., h. 51
[9] Sulaiman Sahlan, dkk, Multi Dimensi Sumber Kreativitas Manusia, (Bandung: Sinar Baru, 1998), H.86
[10] Depdiknas.  Strategi Pembelajaran dan  Pemilihannya. Jakarta: 2008. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal, h. 23
[11] Basyiruddin Usman, op.cit.,h . 51
[12] Qur’an Surat Al-Maidah ayat 27-3 1
[13] Basyiruddin Usman, op. cit., h. 51
[14]  http://www-afidz.blogspot.com/2012/01/metode-sosiodarama.html
[15] Engkoswara, Dasar-dasar Metodologi Pengajaran, Bina Aksara, (Jakarta: 1984), h. 60