Monday, March 4, 2019

PEMBINAAN DALAM PROSES PENDIDIKAN



A.    Arti Pembinaan dalam Proses Pendidikan
1.   Pengertian Pembinaan
Pembinaan berasal dari kata bina yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti proses pembuatan, cara membina.[1] Membina juga suatu upaya dalam melakukan sesuatu yang tujuannya adalah mendidik dan membina seseorang kearah yang lebih baik.
Drs. Miftha thoha, MPA, mengemukakan bahwa :
“Pembinaan adalah suatu tindakan proses hasil atau pernyataan lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan adanya kemauan, peningkatan, pertumbuhan dan evaluasi atas berbagai kemungkinan berkembang atau peningkatan atas sesuatu”.[2]
Konsep pembinaan di atas menunjukkan adanya dua unsur pengertian yang dikemukakan yaitu pengertian pembinaan itu sendiri bisa berupa suatu tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan. Dan unsur yang kedua dari pengertian di atas adalah bisa menunjukkan kearah perbaikan atas sesuatu. Kedua unsur pengertian tersebut, jika dikaitkan dengan pembinaan santri remaja di dalam pondok pesantren. Maka untuk mewujudkan santri yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia sebagai tujuan pembinaan yang dilakukan perlu adanya tindakan-tindakan yang mengarah ketujuan tersebut, seperti tindakan-tindakan menegur santri yang berbuat tidak benar menurut ajaran agama, membuat aturan-aturan supaya santri disiplin, dan bagi pembina menjadi contoh yang baik bagi santri dalam hal perilaku sehari-hari.[3]
Membina erat kaitannya dengan pendidikan karena merupakan perbuatan yang pada akhirnya memberikan semacam pendidikan. Sedangkan kata pendidikan berasal dari kata “didik” ditambah awalan pe- dan akhiran- an, yang menurut kamus bahasa Indonesia adalah proses perubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia dalam upaya pengajaran dan pelatihan.[4]
Pendidikan juga berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar menjadi dewasa.[5] Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan.
Dalam bahasa arab, kata pendidikan digunakan dengan beberapa istilah, antara lain : at-ta’lim, at-tarbiyah dan at-ta’dib. Ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjukkan makna pendidikan. Kata “at-ta’lim” berarti “pengajaran yang bersifat memberikan atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan”. Kata “at-tarbiyah” berarti “mengasuh, mendidik dan memelihara”. Sedangkan kata “at-ta’dib” diartikan “sebagai proses mendidik dan lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak dan budi pekerti peserta didik”. Orientasi at-ta’dib lebih fokus pada upaya pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia.[6]
Pengertian di atas menunjukkan kata dan makna yang lebih cocok dipakai dan sesuai dengan pembinaan adalah at-ta’dib karena lebih mengutamakan proses pembinaan yang bertujuan pada arah pembentukan kepribadian muslim yang berakhlak mulia dan ditujukan pada anak didik dalam memberikan didikan dan pemahaman tentang nilai agama dalam diri seseorang. Hal ini dipandang perlu karena menjadi bekal dalam menempuh kehidupan.
Islam memandang pembinaan dilakukan semenjak dini supaya menjadi landasan yang sangat kokoh bagi anak dalam berinteraksi dan menyakini nilai keagamaan yang dalam hal ini adalah agama Islam sehingga menjadikan wahyu sebagai petunjuk dalam mengatasi segala persoalan kehidupan.
Pembinaan ini sangat penting sekali dilakukan untuk tertanamnya mental agama di dalam jiwa, tingkah laku, perbuatan, perkataan dan sikap seseorang, sehingga terciptanya manusia yang berakhlakul karimah.
2.   Sasaran Pembinaan dalam Pendidikan
Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan “makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya”. Secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi fisik dan dimensi rohani. Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (ulil albab), dapat berpikir/merenung, mempergunakan akal, dapat beriman, bertakwa, mengigat atau mengambil pelajaran, mendengar kebenaran firman Tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna dan terakhir manusia lahir ke dunia telah membawa fitrah.[7]
Agama Islam melalui Al-Qur’an telah memberikan ketegasan dimensi jasmani selain rohani manusia. Kenyataan ini dideskripsikan dari beberapa ayat yang menjelaskan proses kejadian, pertumbuhan dan perkembangan manusia. Seperti terdapat dalam surat Al-Mu’minin ayat 12-16
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ   §NèO /ä3¯RÎ) y÷èt/ y7Ï9ºsŒ tbqçFÍhyJs9 ÇÊÎÈ   ¢OèO ö/ä3¯RÎ) tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# šcqèWyèö7è? ÇÊÏÈ  

Artinya: ”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian setelah itu, sungguh kamu pasti mati. Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat”.[8]

Ayat di atas menjadi isyarat yang tegas dimensi jasadi yang dimiliki manusia sebagai argumen yang tidak terbantahkan terhadap proses kejadian manusia. Sudah layaknya manusia mengembangkan kemampuan jasadinya seoptimal mugkin serta berkewajiban untuk senantiasa merawat fisik yang diciptakan Tuhan. Di balik itu, jasad memiliki potensi untuk mengalami hambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan, bahkan berpeluang untuk sakit. Sakit fisik dapat menyebabkan terganggunya fungsi lain.
Berdasarkan proses penciptaan itu, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah. Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana), dan di sisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).
Menurut Harun Nasution, “unsur materi manusia mempunyai daya fisik, seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak”. Sementara itu unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir yang disebut akal dan rasa yang berpusat pada kalbu. Untuk membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan keterampilan dan panca indera. Sedangkan untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam melalui proses penalaran dan berfikir. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah, karena intisari ibadah dalam Islam ialah mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Suci. Yang Maha Suci dapat didekati oleh ruh yang suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk mensucikan ruh atau jiwa.[9]

Dimensi kedua manusia adalah rohaniah. Dimensi yang sulit untuk dideskripsikan dan diverbalisasikan, namun dapat dipahami dan diterima keberadaannya. Dalam bahasa asing ada beberapa terminologi yang memiliki “kesamaan” makna dengan roh (an-nafs), yaitu soul, sprit dan form. Persoalan roh merupakan kajian yang pelik dan fenomenalogis. Kemampuan manusia sangat terbatas dalam mengidentifikasi atau mendefenisikan roh, manusia kesulitan dalam mengenal dan mengetahui hakikat yang abstrak.[10] Ketidak mampuan manusia dalam menterjemahkan roh dan menangkap hakikatnya sudah diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Seperti terdapat dalam surat Al-Isra ayat 85 :
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya :“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”.[11]

Dalam kajian pendidikan, objek pembinaan pada manusia tidak hanya pada dua dimensi itu saja, tetapi ada dimensi lainnya. Menurut Prayitno, manusia makhluk multidimensi, yaitu “keindividuan, kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan”.[12] Manusia seutuhnya adalah manusia yang berhasil mengembangkan dimensi kemanusiaannya hingga mencapai kualitas keindahan dan derajat yang setinggi-tingginya dalam kehidupan.
Sementara itu Zakiah Daradjat membagi manusia pada tujuh bagian, yaitu  “fisik, akal, iman, akhlak, kejiwaan, keindahan, dan sosial kemasyarakatan”.[13]
Perkembangan kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat struktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek efektif seperti kehidupan intelektual, emosional, moral, spiritual, dan agama.
  1. Aspek intelektual adalah kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif ilahiyah, seperti wahyu, ilham dan firasat.
  2. Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika menerima musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.
  3. Kecerdasan moral yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik.
  4. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan dan kecakapan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia.
  5. Kecerdasan beragama adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan. Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berprilaku secara benar, yang puncaknya menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan[14].

Dalam pendidikan Islam, seluruh dimensi yang terdapat pada struktur kepribadian manusia yang merupakan objek yang harus mendapatkan pendidikan dan pembinaan. Dalam kajian ini akan dibahas beberapa aspek saja.
3.      Langkah-langkah Pembinaan Keagamaan
Pengertian metode secara etimologi, berasal dari dua perkataan, yaitu “meta” dan “hodos”. “Meta” berarti “melalui” dan “hodos” berarti “jalan” atau “cara”. Menurut Dr. Ahmad Husain al-Liqaniy, metode adalah “langkah-langkah yang diambil guru guna membantu para murid merealisasikan tujuan tertentu”. Dalam bahasa Arab metode dikenal dengan istilah “thariqah”, yang berarti “langkah strategis yang harus disiapkan untuk melakukan pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan, langkah tersebut harus diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian”[15].
Faktor yang mempengaruhi pembinaan keagamaan terbagi kedalam 2 bentuk, yakni faktor internal dan eksternal :[16]
a)          Faktor internal (dari dalam)
Faktor yang berasal dari dalam yaitu, diri sendiri yang memberikan pengaruh cukup besar dalam pembinaan keagamaan pada anak sebagai salah satu individu yang tumbuh berkembang dan memiliki potensi semenjak lahir. Hal ini yang menjadi dasar bahwa setiap anak dapat meniru dan mencontoh setiap perbuatan yang terjadi di lingkungan sekitar, baik yang dilihat, di dengar maupun yang di dapat secara langsung, yaitu berupa sikap dan perilaku dalam menerima dan memahami nilai agama.
Potensi yang dimiliki semenjak lahir merupakan faktor bawaan. Hal ini menyangkut masalah pembinaan keagamaan dalam kelurga. Sebaliknya anak yang semenjak lahir tidak mendapatkan pembinaan keagamaan akan cendrung lebih keras wataknya dan perilakunya sehingga banyak menentang dari pada menuruti setiap pelajaran yang diberikan pada anak. Faktor ini berpengaruh cukup besar dalam pencapaian tujuan pembinaan.
b)          Faktor eksternal (dari luar)
  Lingkungan merupakan faktor eksternal yang ikut mempengaruhi dan menentukan corak pembinaan keagamaan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada sekitar anak, terutama lingkungan anak bergaul dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan dapat dibagi menjadi 3 yakni, lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.  Lingkungan keluarga, kebiasaan dan nilai-nilai serta aturan yang berkembang dan berlaku dalam keluarga, memberikan pengaruh pada pembentukan sikap dan perilaku anak. Sebaliknya, hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis akan menciptakan rasa tidak aman dalam keluarga, karena keluarga adalah tempat atau lingkungan yang pertama sekali dikenal oleh anak.
2.  Lingkungan masyarakat adalah faktor yang sangat dominan dalam memberikan pengaruh terhadap pembinaan keagamaan dalam keluarga. Aturan serta norma yang berlaku di masyarakat akan mempengaruhi seseorang. Lemahnya aturan dan nilai yang mengikat masyarakat dapat menjadikan seseorang berbuat dan bertindak tidak sesuai dengan aturan dan norma. Pola hidup masyarakat yang tidak teratur dan tidak sesuai dengan aturan Islam membawa pengaruh dalam pembinaan keagamaan.
3.  Lingkungan sekolah, memungkinkan berkumpulnya berbagai jenis karakter yang berbeda, dari berbagai individu. Baiknya sebuah linkungan sekolah bukan dinilai dari mutu dan kualitas sekolah tempat siswa menerima pelajaran dan pengajaran di dalamnya. Hal tersebut dilihat dari mengertinya sebuah sekolah tentang perbedaan karakter siswa dan mengetahui potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut. Sekolah tersebut tidak juga harus menyimpang dari tujuan akhir dari pendidikan yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara bentuk-bentuk pembinaan keagamaan seperti dalam bidang ibadah dan akhlak.
“Secara umum ibadah berarti mencakup perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Dalam pengertian khusus, ibadah adalah “perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, atau disebut ritual, seperti : shalat, zakat, puasa, dan lain-lain”. Bahwa semua perbuatan itu secara psikologis merupakan kondisioning yang bersifat kejiwaan maupun lahir yang dapat dilandasi atau memberikan corak kepada semua perilaku lainnya. Bahkan dapat menghindari dari perbuatan jahat dan mungkar baik terhadap diri sendiri, masyarakat maupun lingkungan”.[17] Firman Allah surat Al-Ankabut : 45

ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs?
  
Artinya :”Bacalah kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[18]

Ibadah merupakan bagian terpenting dalam hidup manusia, bahkan beribadah merupakan tujuan hidup manusia. Pembinaan ibadah dapat dilakukan melalui penjelasan dan alat peraga. Misalnya dalam melaksanakan jenazah, selain penjelasan yang bersifat teoritis juga dilaksanakan pengajaran secara praktis. Seperti bagaimana memandikan, menshalatkan, hingga menguburkannya, semuanya dilaksanakan dengan menggunakan alat peraga. Untuk memantapkan pemahaman dan pembinaan ibadah, dilakukan beberapa usaha, antara lain :
a.       Dengan pembiasaan. Seseorang dibiasakan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan teratur, misalnya membaca doa sebelum melaksanakan ibadah, pembiasaan membaca doa sebelum memulai pelajaran, pembiasaan latihan azan ketika akan shalat secara bergantian.
b.      Dengan penyadaran. Di samping adanya pembiasaan, maka anak semakin kritis ingin mengerti tentang arti ibadah, maka kewajiban para guru untuk memberikan penjelasan dan alsan-alasan yang dapat diterima dengan baik oleh pikiran si anak. Sehingga dengan demikian, timbul kesadaran anak tentang adanya ibadah yang wajib dikerjakan dan yang dianjurkan (sunat).
c.       Dengan pengawasan/kontrol. Bahwa kepatuhan anak terhadap waktu ibadah, mengenal juga adanya naik dan turun, dimana hal itu disebabkan situasi tertentu yang mempengaruhi terhadap anak adanya kemungkinan anak menyeleweng atau tidak melaksanakan ibadah, maka perlu diadakan pengawasan/kontrol yang intensif terhadap situasi yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu pada waktu-waktu tertentu pengawasan harus disertai hukuman-hukuman yang bersifat edukatif.
d.      Hukuman. Hukuman adalah tindakan yang paling akhir terhadap pelanggaran ibadah yang sudah berkali-kali dilakukan, setelah diberitahukan, ditegur dan diperingatkan.[19]
Demikian juga dengan pembinaan akhlak, selain menjelaskan melalui verbal, juga dilakukan melalui contoh. Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.[20]
Akhlak merupakan ukuran kemuliaan dan kihinaan seseorang. Apabila seseorang menampilkan akhlak yang terpuji, maka ia dipuji dan menempatkan tempat di hati orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, orang-orang yang menampilkan akhlak jahat, maka ia akan selalu dicela dan dipandang hina oleh orang lain.
Untuk memupuk akhlak yang mulia, Rasulullah pantas dijadikan teladan. Metode keteladanan inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam proses pendidikan umat. Keteladanan yang diberikan Rasul tidak hanya berlangsung setelah ia diangkat menjadi Rasul. Namun sejak kecil ia patut dijadikan contoh. Hal ini dibuktikan dengan gelar al-amin yang disandangnya dari kecil. Keteladanan Rasulullah yang patut ditiru inilah yang dipuji Allah atas kepribadian Muhammad yang mulia, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Ahzab : 21
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya :”Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mangharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.[21]
Pembinaan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk akhlak yang mulia. An-Nahlawi mengungkapkan ada 5 langkah pembinaan akhlak, yaitu:
a.                           Memberikan keteladanan yang baik
b.      Memberikan pengajaran sembari menumbuhkan kesadaran dan pembiasaan
c.       Motivasi dan ancaman
d.      Melalui cerita
e.       Kedisiplinan.[22]

Secara umum, langkah-langkah pembinaan yang paling tepat adalah meneladani pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah. Keberhasilan beliau telah teruji dan dapat dibuktikan. Dalam mengambil pelajaran terhadap pembinaan tersebut tidaklah kaku, tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
4.      Langkah-langkah Pembinaan Intelektual
Apabila kita telusuri asal-usulnya, kata “inteligensi” erat sekali hubungannya dengan kata “intelek”. Hal itu bisa dimaklumi sebab keduanya berasal dari kata Latin yang sama, yaitu “intellegeree” yang berarti memahami. “Intellectus” atau intelek adalah bentuk “participium perpectum” (pasif) dari “intellegree”, sedangkan “intellegens” atau intelegensi adalah bentuk “participiun praesen”s (aktif) dari kata yang sama. Bentuk-bentuk kata ini memberikan indikasi kepada kita bahwa intelek lebih bersifat pasif atau statis (being, potensi), sedangkan intelegensi lebih bersifat aktif (becoming, aktualisasi). Berdasarkan pemahaman ini bisa kita simpulkan bahwa intelek adalah daya atau potensi untuk memahami, sedangkan inteligensi adalah aktivitas atau perilaku yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi tersebut.[23]
Pendapat lain, kecerdasan intelektual adalah “kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain”. Sedangkan menurut Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan intelektual adalah “kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif, seperti berfikir, daya menghubungkan, menilai dan memilah serta mempertimbangkan sesuatu”.[24]
“Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, daya menghubungkan dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu, atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. Menurut Thurstone, dengan teori multi faktornya, menentukan 30 faktor yang menentukan kecerdasan intelektual, tujuh diantaranya yang dianggap paling utama untuk ebilitas-ebilitan mental, yaitu: (1) mudah dalam mempergunakan bilangan (2) baik ingatan (3) mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan (4) tajam penglihatan (5) mudah menarik kesimpulan dari data yang ada (6) cepat mengamati, dan (7) cakap dalam memecahkan berbagai problem. Kecerdasan ini disebut juga kecerdasan rasional (rational intelligence), sebab ia menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah. Melalui tes IQ (intelligence Quatieon), tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan dengan orang lain”[25].

Pada tahun 1933, seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris, Cyrill Burt menulis:
“Melalui intelegensi, ahli psikologi bisa memahami kemampuan intelektual keseluruhan yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut diwariskan, atau paling tidak bawaan, tidak ada kaitannya dengan pengajaran atau pelatihan, kemampuan itu intelektual, bukan emosional atau moral, dan tidak terpengaruh oleh kerajinan atau semangat, kemampuan tersebut umum tidak khusus, yaitu tidak terbatas pada jenis pekerjaan tertentu, tetapi masuk ke dalam semua yang kita lakukan, atau kita katakan, atau kita fikirkan. Dari semua kualitas mental kita, inilah yang paling jauh jangkaunnya. Untunglah kemampuan itu dapat diukur dengan tepat dan mudah.” [26]

Intelegensi orang satu dengan yang lain cendrung berbeda-beda, hal ini karena adanya beberapa faktor  yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi inteligensi antara lain sebagai berikut :
  1. Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu di dalam satu kelas ditemui anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
  2. Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
  3. Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
  4. Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun fsikis, dapat dikatakan telah matang jika ia tumbuh dan berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
  5. Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.[27]
Kelima faktor di atas saling terkait satu sama lainnya. Jadi untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, tetapi harus mencakup semua faktor. Karena seseorang dapat dikategorikan sebagai orang cerdas, bila mempunyai kemampuan berfikir abstrak secara benar dan tepat.
Piaget memandang bahwa proses berfikir merupakan aktivitas gradual dari fungsi intelektual, yaitu dari berfikir konkrit menuju abstrak. Berarti perkembangan kapasitas mental memberikan kemampuan baru yang sebelumnya tidak ada.
Pembinaan intelektual dilakukan dengan mengajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan pola pembinaan intelektual dan berhubungan dengan akal pikiran. Diantara metode yang sering digunakan oleh para kyai di pesantren dalam membina intelektual santri berdasarkan kitab kuning yang dijadikan sumber belajar adalah sebagai berikut :
  1. Hafalan, yaitu santri diharuskan membaca dan menghafal teks berbahasa arab secara individual, guru menjelaskan arti kata demi kata.
  2. Wetonan/bandongan adalah pengajian yang diberikan kyai secara kelompok kepada santri yang merupakan inisiatif kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama kitabnya. Dalam sistem ini terlihat dominasi kyai terhadap santri.
  3. Sorongan adalah pengajian secara individual, seorang santri menghadap kyai untuk mempelajari kitab-kitab tertentu. Pengajian jenis ini biasanya hanya diberikan kepada santri yang sudah maju, khususnya yang berminat hendak menjadi kyai.
  4. Mudzakarah/musyawarah adalah pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas persoalan agama pada umumnya. Metode ini digunakan dalam dua tingkatan, yaitu : 1) diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia, dan 2) mudzakarah yang dipimpin kyai, dimana hasil mudzakarah santri diajukan untuk di bahas dan dinilai seperti dalam seminar.
  5. Majelis ta’lim yaitu suatu media penyampaian ajaran Islam secara umum dan terbuka. Metode ini diikuti oleh jamaah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berlatar pengetahuan yang bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja. Pelaksanaan pengajaran ini merupakan salah satu perwujudan hubungan fungsional pesantren dalam mempengaruhi sistem nilai masyarakat.[28]

Adanya metode ini akan mendidik intelektual santri dalam memahami pesan yang terkandung di dalam kitab-kitab tersebut sehingga mereka memiliki kompetensi sebagaimana yang terdapat dalam masing-masing kitab. Pada umumnya kitab-kitab di atas akan membekali para santri dalam memahami ilmu-ilmu keislaman khususnya yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, di mana mereka juga ditekankan mempelajari bahasa Arab sebagai celah dalam memahami ilmu-ilmu tersebut. Dengan kompetensi seperti ini, diharapkan mereka mampu menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan mampu menjawab berbagai pertanyaan yang akan muncul di tengah-tengah masyarakat jika mereka telah terjun ke lingkungan masyarakat. Dengan demikian, ilmu-ilmu yang mereka pelajari bukan saja berguna untuk pribadinya tetapi juga berguna dalam mendidik masyarakat sosialnya.


5.   Langkah-langkah Pembinaan Kepribadian
Personality atau kepribadian berasal dari kata “persona” yang berarti topeng, yakni “alat untuk menyembunyikan identitas diri”. Bagi bangsa Romawi “persona “berarti “bagaimana seseorang tampak pada orang lain”, jadi bukan diri yang sebenarnya. Adapun pribadi yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “person” atau “persona” dalam bahasa Latin yang berarti “manusia sebagai perseorangan, diri manusia atau diri orang sendiri”.
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah “aku yang sejati” dan kepribadian merupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk perilaku tertentu. Di sini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang difikir, dirasakan, dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku.
 G. W. Allport dalam buku Child Development karangan Elizabeth Hurlock. Dikatakan bahwa, kepribadian adalah “organisasi (susunan) dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuainnya yang unik terhadap lingkungan”[29].
Dengan demikian, berdasarkan defenisi di atas kepribadian memiliki beberapa unsur, yakni :
1.      Kepribadian itu merupakan organisasi yang dinamis. Dengan kata lain, ia tidak statis, tetapi bisa berubah setiap saat.
2.      Organisasi tersebut terdapat dalam diri individu. Jadi, tidak meliputi hal-hal yang berada di luar diri individu.
3.      Oraganisasi itu berdiri atas sistem fsikis, yang menurut Allport meliputi antara lain, sifat dan bakat, serta sistem fisik (anggota dan organ-organ tubuh) yang saling terkait.
4.      Organisasi itu menentukan corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu terhadap lingkungannya.
Sebagai organisasi yang dinamis, artinya kepribadian itu dapat berubah-ubah dan antar berbagai komponen kepribadian tersebut (sistem psikofisik seperti, kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, emosi, perasaan, dan motif) memiliki hubungan yang erat. Hubungan tersebut terorganisasi sedemikian rupa secara bersama-sama mempengaruhi pola perilaku dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Kepribadian manusia merupakan gabungan dari berbagai sifat dan konsep diri orang. Jika dikaji lebih mendalam sebenarnya proses ini sudah berjalan sesuai dengan memberi pengalaman dan mewarnai perkembangan kepribadian seseorang. Jadi secara umum, dapat dikatakan bahwa kepribadian merupakan suatu proses dinamis dalam diri, yang terus menerus dilakukan terhadap sistem psikofisik (fisik dan mental), sehingga terbentuk pola penyesuaian diri yang unik atau khas pada setiap orang terhadap lingkungannya.
Dari pokok pikiran di atas, dapat dipahami bahwa kepribadian merupakan integralisasi unsur kemanusiaan yang terdapat dalam diri seseorang, seperti emosi, berfikir, imajinasi temperamen, watak, karakter dan sebagainya.
Sedangkan kepribadian yang dimaksud di sini adalah kepribadian Islam yaitu kepribadian yang lahir atau bersumber dari Al-qur’an dan sunnah. Dalam hal ini dapat dipelajari dan dihayati firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 102 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? Ÿwur ¨ûèòqèÿsC žwÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÉËÈ   

Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”.[30]

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu bertaqwa kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208 Allah juga berfirman : 
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ  

Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman ! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”.[31]

Ayat ini menuntut setiap orang yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam. Jangan hanya percaya dan mengamalkan sebagian ajaran-Nya dan menolak sebagian yang lain.
Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa kepribadian muslim itu ialah kepribadian yang timbul dan didasari oleh iman dan selalu mentaati agama Islam, bagi seluruh unsur dirinya dan dalam kehidupan berpedoman Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Pembinaan kepribadian dimulai dari usaha Pembina melihat dan mengamati potensi-potensi pribadi, sehingga dapat mengarahkan langkah santri. Pengamatan terhadap karakter dan watak santri menjadi rujukan untuk memoles dan menatanya. Usaha pembinaan kepribadian dapat dilaksanakan dalam kegiatan pelatihan kepemimpinan, melalui kegiatan kepemimpinan dapat dilaksanakan pengamatan terhadap karakter dan watak santri, sekaligus pembekalan (pengembangan) kecerdasan-kecerdasan personality santri. Contoh lain adalah kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, seperti kepramukaan. Wadah ini menjadi ajang mengekspresikan kemampuan diri dan mengembangkan bakat santri.
Kemudian shalat juga merupakan salah satu cara membentuk kepribadian manusia sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 45:
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  

Artinya :“Bacalah kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[32]

Dari ayat di atas jelaslah bahwa faedah shalat ialah dapat melatih manusia untuk selalu bersikap dan bertindak disiplin baik dari cara berpakaian, gerakan dan waktu.orang yang shalat harus bersih pakaian, badan dan tempat dari kotoran atau najis. Kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, karena orang yang shalat itu selalu mengigat Allah setiap waktu. Oleh sebab itu, ia takut berbuat kejahatan, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan sebab ia mempunyai kepercayaan, bahwa Allah selalu melihat dan mengawasinya. Jadi dengan melaksanakan shalat akan tumbuh pribadi yang baik dan jauh dari kejahatan serta tercela. Dan akan lebih baik lagi jika shalat itu dilakukan berjama’ah, karena dengan shalat berjama’ah akan tumbuh rasa persaudaraan dan kebersamaan yang kuat.



[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), h. 152
[2] http://muslim-madjid.blog. Friendster. com/tulisan artikel,
[3] ibid
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), h. 263
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h. 1
[6] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 85-90
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Ke-5, (Jakarta : Kalam Mulia, 2006),h. 82
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : PT. Syaamil Cipta Media), h. 342
[9] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), h. 16
[10] Hawari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut Islam, (Surabaya :Al-Ikhlas, 1993), h. 131
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, op. cit, h. 290
[12] Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Depdiknas : Rineka Cipta), h. 16
[13] Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan sekolah, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), h. 1
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2001), h. 328-330
[15] Ramayulis, op, cit, 2002, h. 149
[16] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h. 96
[17] Abu Ahmadi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 240
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, h. 401
[19] M. Hafi Anshari, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), h. 66-69
[20] Zakiah Daradjat, op, cit, h. 10
[21] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, h. 420
[22] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Diterjemahkan oleh Euis Erinawati dari Ushul at-Tarbiyah Al-Isalamiyah wa Asalibiha Fi al-Bait wa al-Madrasatwa al-Mujtama’, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 32
[23] Alex Sobur, Psikologi umum, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 155-156
[24] Ramayulis, op, cit. h. 97
[25] Abdul Mujib, op. cit, h. 319
[26] Alex Sobur, op. cit, h, 163
[27] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), h. 74-75
[28] Abuddin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2001), h. 176-178; Lihat juga Imron Arifin, op, cit, h. 38-39
[29] Djaali, op, cit, h. 2

[30] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, h. 63
[31] Ibid , h. 32
[32] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tercemahnya, op. cit. h. 401

No comments:

Post a Comment