A.
Arti
Pembinaan dalam Proses Pendidikan
1.
Pengertian Pembinaan
Pembinaan berasal dari kata bina yang
mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti proses pembuatan, cara
membina.[1]
Membina juga suatu upaya dalam melakukan sesuatu yang tujuannya adalah mendidik
dan membina seseorang kearah yang lebih baik.
Drs. Miftha thoha, MPA, mengemukakan bahwa :
“Pembinaan adalah suatu tindakan
proses hasil atau pernyataan lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan adanya
kemauan, peningkatan, pertumbuhan dan evaluasi atas berbagai kemungkinan
berkembang atau peningkatan atas sesuatu”.[2]
Konsep pembinaan di atas menunjukkan
adanya dua unsur pengertian yang dikemukakan yaitu pengertian pembinaan itu
sendiri bisa berupa suatu tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan.
Dan unsur yang kedua dari pengertian di atas adalah bisa menunjukkan kearah
perbaikan atas sesuatu. Kedua unsur pengertian tersebut, jika dikaitkan dengan
pembinaan santri remaja di dalam pondok pesantren. Maka untuk mewujudkan santri
yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia sebagai tujuan pembinaan yang
dilakukan perlu adanya tindakan-tindakan yang mengarah ketujuan tersebut,
seperti tindakan-tindakan menegur santri yang berbuat tidak benar menurut
ajaran agama, membuat aturan-aturan supaya santri disiplin, dan bagi pembina
menjadi contoh yang baik bagi santri dalam hal perilaku sehari-hari.[3]
Membina erat kaitannya dengan
pendidikan karena merupakan perbuatan yang pada akhirnya memberikan semacam
pendidikan. Sedangkan kata pendidikan berasal dari kata “didik” ditambah awalan
pe- dan akhiran- an, yang menurut kamus bahasa Indonesia adalah proses
perubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan
manusia dalam upaya pengajaran dan pelatihan.[4]
Pendidikan juga berarti bimbingan
atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang
dewasa agar menjadi dewasa.[5]
Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan
dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah
kedewasaan.
Dalam bahasa arab, kata pendidikan
digunakan dengan beberapa istilah, antara lain : at-ta’lim, at-tarbiyah dan
at-ta’dib. Ketiga kata tersebut memiliki makna tersendiri dalam menunjukkan
makna pendidikan. Kata “at-ta’lim” berarti “pengajaran yang bersifat
memberikan atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan”. Kata “at-tarbiyah”
berarti “mengasuh, mendidik dan memelihara”. Sedangkan kata “at-ta’dib” diartikan
“sebagai proses mendidik dan lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan
akhlak dan budi pekerti peserta didik”. Orientasi at-ta’dib lebih fokus
pada upaya pembentukan kepribadian yang berakhlak mulia.[6]
Pengertian di atas menunjukkan kata
dan makna yang lebih cocok dipakai dan sesuai dengan pembinaan adalah at-ta’dib
karena lebih mengutamakan proses pembinaan yang bertujuan pada arah pembentukan
kepribadian muslim yang berakhlak mulia dan ditujukan pada anak didik dalam
memberikan didikan dan pemahaman tentang nilai agama dalam diri seseorang. Hal
ini dipandang perlu karena menjadi bekal dalam menempuh kehidupan.
Islam memandang pembinaan dilakukan
semenjak dini supaya menjadi landasan yang sangat kokoh bagi anak dalam
berinteraksi dan menyakini nilai keagamaan yang dalam hal ini adalah agama
Islam sehingga menjadikan wahyu sebagai petunjuk dalam mengatasi segala
persoalan kehidupan.
Pembinaan ini sangat penting sekali
dilakukan untuk tertanamnya mental agama di dalam jiwa, tingkah laku,
perbuatan, perkataan dan sikap seseorang, sehingga terciptanya manusia yang
berakhlakul karimah.
2.
Sasaran Pembinaan dalam Pendidikan
Menurut Widodo Supriyono, manusia
merupakan “makhluk multidimensional yang berbeda dengan makhluk-makhluk
lainnya”. Secara garis besar ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi
fisik dan dimensi rohani. Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian
yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk
memahami sesuatu (ulil albab), dapat berpikir/merenung, mempergunakan akal,
dapat beriman, bertakwa, mengigat atau mengambil pelajaran, mendengar kebenaran
firman Tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai teknologi tepat guna
dan terakhir manusia lahir ke dunia telah membawa fitrah.[7]
Agama Islam melalui Al-Qur’an telah
memberikan ketegasan dimensi jasmani selain rohani manusia. Kenyataan ini
dideskripsikan dari beberapa ayat yang menjelaskan proses kejadian, pertumbuhan
dan perkembangan manusia. Seperti terdapat dalam surat Al-Mu’minin ayat 12-16
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ §NèO /ä3¯RÎ) y÷èt/ y7Ï9ºs tbqçFÍhyJs9 ÇÊÎÈ ¢OèO ö/ä3¯RÎ) tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# cqèWyèö7è? ÇÊÏÈ
Artinya: ”Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang
melekat itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha suci Allah, Pencipta
yang paling baik. Kemudian setelah itu, sungguh kamu pasti mati. Kemudian,
sungguh kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat”.[8]
Ayat di atas menjadi isyarat yang
tegas dimensi jasadi yang dimiliki manusia sebagai argumen yang tidak
terbantahkan terhadap proses kejadian manusia. Sudah layaknya manusia
mengembangkan kemampuan jasadinya seoptimal mugkin serta berkewajiban untuk
senantiasa merawat fisik yang diciptakan Tuhan. Di balik itu, jasad memiliki
potensi untuk mengalami hambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan, bahkan
berpeluang untuk sakit. Sakit fisik dapat menyebabkan terganggunya fungsi lain.
Berdasarkan proses penciptaan itu,
manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen
materi berasal dari tanah dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah. Kesatuan
ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya
(fana), dan di sisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi
dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).
Menurut Harun Nasution, “unsur materi
manusia mempunyai daya fisik, seperti mendengar, melihat, merasa, meraba,
mencium dan daya gerak”. Sementara itu unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu
daya berfikir yang disebut akal dan rasa yang berpusat pada kalbu. Untuk
membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan keterampilan dan
panca indera. Sedangkan untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam melalui
proses penalaran dan berfikir. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa dapat
dipertajam melalui ibadah, karena intisari ibadah dalam Islam ialah mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Suci. Yang Maha Suci dapat didekati oleh ruh yang
suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk mensucikan ruh atau jiwa.[9]
Dimensi kedua manusia adalah
rohaniah. Dimensi yang sulit untuk dideskripsikan dan diverbalisasikan, namun
dapat dipahami dan diterima keberadaannya. Dalam bahasa asing ada beberapa
terminologi yang memiliki “kesamaan” makna dengan roh (an-nafs), yaitu soul,
sprit dan form. Persoalan roh merupakan kajian yang pelik dan fenomenalogis.
Kemampuan manusia sangat terbatas dalam mengidentifikasi atau mendefenisikan
roh, manusia kesulitan dalam mengenal dan mengetahui hakikat yang abstrak.[10]
Ketidak mampuan manusia dalam menterjemahkan roh dan menangkap hakikatnya sudah
diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Seperti terdapat dalam surat Al-Isra ayat 85 :
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya :“Dan mereka bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”.[11]
Dalam kajian pendidikan, objek
pembinaan pada manusia tidak hanya pada dua dimensi itu saja, tetapi ada
dimensi lainnya. Menurut Prayitno, manusia makhluk multidimensi, yaitu
“keindividuan, kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan”.[12]
Manusia seutuhnya adalah manusia yang berhasil mengembangkan dimensi
kemanusiaannya hingga mencapai kualitas keindahan dan derajat yang
setinggi-tingginya dalam kehidupan.
Sementara itu Zakiah Daradjat membagi
manusia pada tujuh bagian, yaitu “fisik,
akal, iman, akhlak, kejiwaan, keindahan, dan sosial kemasyarakatan”.[13]
Perkembangan kehidupan manusia bukan
semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat struktur kalbu yang
perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek efektif seperti
kehidupan intelektual, emosional, moral, spiritual, dan agama.
- Aspek intelektual adalah kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif ilahiyah, seperti wahyu, ilham dan firasat.
- Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika menerima musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan.
- Kecerdasan moral yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik.
- Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan dan kecakapan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia.
- Kecerdasan beragama adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan. Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berprilaku secara benar, yang puncaknya menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan[14].
Dalam pendidikan Islam, seluruh
dimensi yang terdapat pada struktur kepribadian manusia yang merupakan objek
yang harus mendapatkan pendidikan dan pembinaan. Dalam kajian ini akan dibahas
beberapa aspek saja.
3.
Langkah-langkah
Pembinaan Keagamaan
Pengertian metode secara etimologi,
berasal dari dua perkataan, yaitu “meta” dan “hodos”. “Meta”
berarti “melalui” dan “hodos” berarti “jalan” atau “cara”. Menurut Dr. Ahmad
Husain al-Liqaniy, metode adalah “langkah-langkah yang diambil guru guna membantu
para murid merealisasikan tujuan tertentu”. Dalam bahasa Arab metode dikenal
dengan istilah “thariqah”, yang berarti “langkah strategis yang harus
disiapkan untuk melakukan pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan,
langkah tersebut harus diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka
pembentukan kepribadian”[15].
Faktor yang mempengaruhi pembinaan
keagamaan terbagi kedalam 2 bentuk, yakni faktor internal dan eksternal :[16]
a)
Faktor
internal (dari dalam)
Faktor yang berasal dari dalam yaitu,
diri sendiri yang memberikan pengaruh cukup besar dalam pembinaan keagamaan
pada anak sebagai salah satu individu yang tumbuh berkembang dan memiliki
potensi semenjak lahir. Hal ini yang menjadi dasar bahwa setiap anak dapat
meniru dan mencontoh setiap perbuatan yang terjadi di lingkungan sekitar, baik
yang dilihat, di dengar maupun yang di dapat secara langsung, yaitu berupa
sikap dan perilaku dalam menerima dan memahami nilai agama.
Potensi yang dimiliki semenjak lahir
merupakan faktor bawaan. Hal ini menyangkut masalah pembinaan keagamaan dalam
kelurga. Sebaliknya anak yang semenjak lahir tidak mendapatkan pembinaan
keagamaan akan cendrung lebih keras wataknya dan perilakunya sehingga banyak
menentang dari pada menuruti setiap pelajaran yang diberikan pada anak. Faktor
ini berpengaruh cukup besar dalam pencapaian tujuan pembinaan.
b)
Faktor
eksternal (dari luar)
Lingkungan merupakan faktor eksternal yang ikut mempengaruhi dan
menentukan corak pembinaan keagamaan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada
sekitar anak, terutama lingkungan anak bergaul dan berinteraksi dalam kehidupan
sehari-hari. Lingkungan dapat dibagi menjadi 3 yakni, lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Lingkungan
keluarga, kebiasaan dan nilai-nilai serta aturan yang berkembang dan berlaku
dalam keluarga, memberikan pengaruh pada pembentukan sikap dan perilaku anak.
Sebaliknya, hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis akan menciptakan
rasa tidak aman dalam keluarga, karena keluarga adalah tempat atau lingkungan
yang pertama sekali dikenal oleh anak.
2.
Lingkungan
masyarakat adalah faktor yang sangat dominan dalam memberikan pengaruh terhadap
pembinaan keagamaan dalam keluarga. Aturan serta norma yang berlaku di
masyarakat akan mempengaruhi seseorang. Lemahnya aturan dan nilai yang mengikat
masyarakat dapat menjadikan seseorang berbuat dan bertindak tidak sesuai dengan
aturan dan norma. Pola hidup masyarakat yang tidak teratur dan tidak sesuai
dengan aturan Islam membawa pengaruh dalam pembinaan keagamaan.
3.
Lingkungan
sekolah, memungkinkan berkumpulnya berbagai jenis karakter yang berbeda, dari
berbagai individu. Baiknya sebuah linkungan sekolah bukan dinilai dari mutu dan
kualitas sekolah tempat siswa menerima pelajaran dan pengajaran di dalamnya.
Hal tersebut dilihat dari mengertinya sebuah sekolah tentang perbedaan karakter
siswa dan mengetahui potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut. Sekolah
tersebut tidak juga harus menyimpang dari tujuan akhir dari pendidikan yaitu
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara bentuk-bentuk pembinaan
keagamaan seperti dalam bidang ibadah dan akhlak.
“Secara umum ibadah berarti mencakup
perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT
yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Dalam
pengertian khusus, ibadah adalah “perilaku manusia yang dilakukan atas perintah
Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, atau disebut ritual, seperti :
shalat, zakat, puasa, dan lain-lain”. Bahwa semua perbuatan itu secara psikologis
merupakan kondisioning yang bersifat kejiwaan maupun lahir yang dapat dilandasi
atau memberikan corak kepada semua perilaku lainnya. Bahkan dapat menghindari
dari perbuatan jahat dan mungkar baik terhadap diri sendiri, masyarakat maupun
lingkungan”.[17]
Firman Allah surat Al-Ankabut : 45
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs?
Artinya :”Bacalah kitab (Al-Qur’an)
yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan
(ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah
yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[18]
Ibadah merupakan bagian terpenting
dalam hidup manusia, bahkan beribadah merupakan tujuan hidup manusia. Pembinaan
ibadah dapat dilakukan melalui penjelasan dan alat peraga. Misalnya dalam
melaksanakan jenazah, selain penjelasan yang bersifat teoritis juga
dilaksanakan pengajaran secara praktis. Seperti bagaimana memandikan,
menshalatkan, hingga menguburkannya, semuanya dilaksanakan dengan menggunakan
alat peraga. Untuk memantapkan pemahaman dan pembinaan ibadah, dilakukan beberapa
usaha, antara lain :
a.
Dengan
pembiasaan. Seseorang dibiasakan untuk melakukan sesuatu dengan baik dan
teratur, misalnya membaca doa sebelum melaksanakan ibadah, pembiasaan membaca
doa sebelum memulai pelajaran, pembiasaan latihan azan ketika akan shalat secara
bergantian.
b.
Dengan
penyadaran. Di samping adanya pembiasaan, maka anak semakin kritis ingin
mengerti tentang arti ibadah, maka kewajiban para guru untuk memberikan
penjelasan dan alsan-alasan yang dapat diterima dengan baik oleh pikiran si
anak. Sehingga dengan demikian, timbul kesadaran anak tentang adanya ibadah
yang wajib dikerjakan dan yang dianjurkan (sunat).
c.
Dengan
pengawasan/kontrol. Bahwa kepatuhan anak terhadap waktu ibadah, mengenal juga
adanya naik dan turun, dimana hal itu disebabkan situasi tertentu yang
mempengaruhi terhadap anak adanya kemungkinan anak menyeleweng atau tidak
melaksanakan ibadah, maka perlu diadakan pengawasan/kontrol yang intensif
terhadap situasi yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu pada waktu-waktu
tertentu pengawasan harus disertai hukuman-hukuman yang bersifat edukatif.
d.
Hukuman.
Hukuman adalah tindakan yang paling akhir terhadap pelanggaran ibadah yang
sudah berkali-kali dilakukan, setelah diberitahukan, ditegur dan diperingatkan.[19]
Demikian juga dengan pembinaan akhlak,
selain menjelaskan melalui verbal, juga dilakukan melalui contoh. Akhlak
merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani,
pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan
tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.[20]
Akhlak merupakan ukuran kemuliaan dan
kihinaan seseorang. Apabila seseorang menampilkan akhlak yang terpuji, maka ia
dipuji dan menempatkan tempat di hati orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya,
orang-orang yang menampilkan akhlak jahat, maka ia akan selalu dicela dan
dipandang hina oleh orang lain.
Untuk memupuk akhlak yang mulia,
Rasulullah pantas dijadikan teladan. Metode keteladanan inilah yang dicontohkan
oleh Rasulullah dalam proses pendidikan umat. Keteladanan yang diberikan Rasul
tidak hanya berlangsung setelah ia diangkat menjadi Rasul. Namun sejak kecil ia
patut dijadikan contoh. Hal ini dibuktikan dengan gelar al-amin yang
disandangnya dari kecil. Keteladanan Rasulullah yang patut ditiru inilah yang
dipuji Allah atas kepribadian Muhammad yang mulia, sebagaimana firmannya dalam
surat Al-Ahzab : 21
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya :”Sungguh, telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mangharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat
Allah”.[21]
Pembinaan merupakan hal yang sangat
penting dalam membentuk akhlak yang mulia. An-Nahlawi mengungkapkan ada 5
langkah pembinaan akhlak, yaitu:
a.
Memberikan
keteladanan yang baik
b.
Memberikan
pengajaran sembari menumbuhkan kesadaran dan pembiasaan
c.
Motivasi
dan ancaman
d.
Melalui
cerita
e.
Kedisiplinan.[22]
Secara umum, langkah-langkah
pembinaan yang paling tepat adalah meneladani pembinaan yang dilakukan oleh
Rasulullah. Keberhasilan beliau telah teruji dan dapat dibuktikan. Dalam
mengambil pelajaran terhadap pembinaan tersebut tidaklah kaku, tetapi harus
disesuaikan dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
4.
Langkah-langkah
Pembinaan Intelektual
Apabila kita telusuri asal-usulnya,
kata “inteligensi” erat sekali hubungannya dengan kata “intelek”. Hal itu bisa
dimaklumi sebab keduanya berasal dari kata Latin yang sama, yaitu “intellegeree”
yang berarti memahami. “Intellectus” atau intelek adalah bentuk “participium
perpectum” (pasif) dari “intellegree”, sedangkan “intellegens”
atau intelegensi adalah bentuk “participiun praesen”s (aktif) dari kata
yang sama. Bentuk-bentuk kata ini memberikan indikasi kepada kita bahwa intelek
lebih bersifat pasif atau statis (being, potensi), sedangkan intelegensi
lebih bersifat aktif (becoming, aktualisasi). Berdasarkan
pemahaman ini bisa kita simpulkan bahwa intelek adalah daya atau potensi untuk
memahami, sedangkan inteligensi adalah aktivitas atau perilaku yang merupakan
perwujudan dari daya atau potensi tersebut.[23]
Pendapat lain, kecerdasan intelektual
adalah “kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan
pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain”.
Sedangkan menurut Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan intelektual adalah
“kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif, seperti berfikir, daya
menghubungkan, menilai dan memilah serta mempertimbangkan sesuatu”.[24]
“Kecerdasan intelektual adalah
kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, daya
menghubungkan dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu, atau kecerdasan yang
berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika.
Menurut Thurstone, dengan teori multi faktornya, menentukan 30 faktor yang
menentukan kecerdasan intelektual, tujuh diantaranya yang dianggap paling utama
untuk ebilitas-ebilitan mental, yaitu: (1) mudah dalam mempergunakan bilangan
(2) baik ingatan (3) mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan (4) tajam
penglihatan (5) mudah menarik kesimpulan dari data yang ada (6) cepat
mengamati, dan (7) cakap dalam memecahkan berbagai problem. Kecerdasan ini
disebut juga kecerdasan rasional (rational intelligence), sebab ia
menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah. Melalui tes IQ (intelligence
Quatieon), tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan
dengan orang lain”[25].
Pada tahun 1933, seorang ahli
psikologi berkebangsaan Inggris, Cyrill Burt menulis:
“Melalui intelegensi, ahli psikologi
bisa memahami kemampuan intelektual keseluruhan yang dibawa sejak lahir.
Kemampuan tersebut diwariskan, atau paling tidak bawaan, tidak ada kaitannya
dengan pengajaran atau pelatihan, kemampuan itu intelektual, bukan emosional
atau moral, dan tidak terpengaruh oleh kerajinan atau semangat, kemampuan
tersebut umum tidak khusus, yaitu tidak terbatas pada jenis pekerjaan tertentu,
tetapi masuk ke dalam semua yang kita lakukan, atau kita katakan, atau kita
fikirkan. Dari semua kualitas mental kita, inilah yang paling jauh jangkaunnya.
Untunglah kemampuan itu dapat diukur dengan tepat dan mudah.” [26]
Intelegensi orang satu dengan yang
lain cendrung berbeda-beda, hal ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang
mempengaruhi inteligensi antara lain sebagai berikut :
- Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu di dalam satu kelas ditemui anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
- Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
- Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
- Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun fsikis, dapat dikatakan telah matang jika ia tumbuh dan berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
- Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.[27]
Kelima faktor di atas saling terkait
satu sama lainnya. Jadi untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat
hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, tetapi harus mencakup semua
faktor. Karena seseorang dapat dikategorikan sebagai orang cerdas, bila
mempunyai kemampuan berfikir abstrak secara benar dan tepat.
Piaget memandang bahwa proses
berfikir merupakan aktivitas gradual dari fungsi intelektual, yaitu dari
berfikir konkrit menuju abstrak. Berarti perkembangan kapasitas mental
memberikan kemampuan baru yang sebelumnya tidak ada.
Pembinaan intelektual dilakukan
dengan mengajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan pola pembinaan intelektual
dan berhubungan dengan akal pikiran. Diantara metode yang sering digunakan oleh
para kyai di pesantren dalam membina intelektual santri berdasarkan kitab
kuning yang dijadikan sumber belajar adalah sebagai berikut :
- Hafalan, yaitu santri diharuskan membaca dan menghafal teks berbahasa arab secara individual, guru menjelaskan arti kata demi kata.
- Wetonan/bandongan adalah pengajian yang diberikan kyai secara kelompok kepada santri yang merupakan inisiatif kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama kitabnya. Dalam sistem ini terlihat dominasi kyai terhadap santri.
- Sorongan adalah pengajian secara individual, seorang santri menghadap kyai untuk mempelajari kitab-kitab tertentu. Pengajian jenis ini biasanya hanya diberikan kepada santri yang sudah maju, khususnya yang berminat hendak menjadi kyai.
- Mudzakarah/musyawarah adalah pertemuan ilmiah yang secara khusus membahas persoalan agama pada umumnya. Metode ini digunakan dalam dua tingkatan, yaitu : 1) diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia, dan 2) mudzakarah yang dipimpin kyai, dimana hasil mudzakarah santri diajukan untuk di bahas dan dinilai seperti dalam seminar.
- Majelis ta’lim yaitu suatu media penyampaian ajaran Islam secara umum dan terbuka. Metode ini diikuti oleh jamaah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berlatar pengetahuan yang bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja. Pelaksanaan pengajaran ini merupakan salah satu perwujudan hubungan fungsional pesantren dalam mempengaruhi sistem nilai masyarakat.[28]
Adanya metode ini akan mendidik
intelektual santri dalam memahami pesan yang terkandung di dalam kitab-kitab
tersebut sehingga mereka memiliki kompetensi sebagaimana yang terdapat dalam
masing-masing kitab. Pada umumnya kitab-kitab di atas akan membekali para
santri dalam memahami ilmu-ilmu keislaman khususnya yang bersumber dari
Al-Qur’an dan hadis, di mana mereka juga ditekankan mempelajari bahasa Arab
sebagai celah dalam memahami ilmu-ilmu tersebut. Dengan kompetensi seperti ini,
diharapkan mereka mampu menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT dan mampu menjawab berbagai pertanyaan yang akan muncul di tengah-tengah masyarakat
jika mereka telah terjun ke lingkungan masyarakat. Dengan demikian, ilmu-ilmu
yang mereka pelajari bukan saja berguna untuk pribadinya tetapi juga berguna
dalam mendidik masyarakat sosialnya.
5.
Langkah-langkah Pembinaan Kepribadian
Personality atau kepribadian berasal dari kata “persona” yang berarti
topeng, yakni “alat untuk menyembunyikan identitas diri”. Bagi bangsa Romawi “persona
“berarti “bagaimana seseorang tampak pada orang lain”, jadi bukan diri yang
sebenarnya. Adapun pribadi yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “person”
atau “persona” dalam bahasa Latin yang berarti “manusia sebagai
perseorangan, diri manusia atau diri orang sendiri”.
Secara filosofis dapat dikatakan
bahwa pribadi adalah “aku yang sejati” dan kepribadian merupakan “penampakan
sang aku” dalam bentuk perilaku tertentu. Di sini muncul gagasan umum bahwa
kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang
diperoleh dari apa yang difikir, dirasakan, dan diperbuat yang terungkap
melalui perilaku.
G. W. Allport dalam buku Child Development karangan
Elizabeth Hurlock. Dikatakan bahwa, kepribadian adalah “organisasi (susunan)
dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan
penyesuainnya yang unik terhadap lingkungan”[29].
Dengan demikian, berdasarkan defenisi
di atas kepribadian memiliki beberapa unsur, yakni :
1.
Kepribadian
itu merupakan organisasi yang dinamis. Dengan kata lain, ia tidak statis,
tetapi bisa berubah setiap saat.
2.
Organisasi
tersebut terdapat dalam diri individu. Jadi, tidak meliputi hal-hal yang berada
di luar diri individu.
3.
Oraganisasi
itu berdiri atas sistem fsikis, yang menurut Allport meliputi antara lain,
sifat dan bakat, serta sistem fisik (anggota dan organ-organ tubuh) yang saling
terkait.
4.
Organisasi
itu menentukan corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu terhadap
lingkungannya.
Sebagai organisasi yang dinamis,
artinya kepribadian itu dapat berubah-ubah dan antar berbagai komponen
kepribadian tersebut (sistem psikofisik seperti, kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan,
emosi, perasaan, dan motif) memiliki hubungan yang erat. Hubungan tersebut
terorganisasi sedemikian rupa secara bersama-sama mempengaruhi pola perilaku
dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Kepribadian manusia merupakan
gabungan dari berbagai sifat dan konsep diri orang. Jika dikaji lebih mendalam
sebenarnya proses ini sudah berjalan sesuai dengan memberi pengalaman dan
mewarnai perkembangan kepribadian seseorang. Jadi secara umum, dapat dikatakan
bahwa kepribadian merupakan suatu proses dinamis dalam diri, yang terus menerus
dilakukan terhadap sistem psikofisik (fisik dan mental), sehingga terbentuk
pola penyesuaian diri yang unik atau khas pada setiap orang terhadap
lingkungannya.
Dari pokok pikiran di atas, dapat
dipahami bahwa kepribadian merupakan integralisasi unsur kemanusiaan yang
terdapat dalam diri seseorang, seperti emosi, berfikir, imajinasi temperamen,
watak, karakter dan sebagainya.
Sedangkan kepribadian yang dimaksud
di sini adalah kepribadian Islam yaitu kepribadian yang lahir atau bersumber
dari Al-qur’an dan sunnah. Dalam hal ini dapat dipelajari dan dihayati firman
Allah dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 102 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è? wur ¨ûèòqèÿsC wÎ) NçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÉËÈ
Artinya :”Wahai orang-orang yang
beriman ! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”.[30]
Dalam ayat tersebut Allah
memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu bertaqwa kepada Allah
dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah.
Dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 208 Allah juga berfirman :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
Artinya :“Wahai orang-orang yang
beriman ! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti
langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”.[31]
Ayat ini menuntut setiap orang yang
beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam. Jangan hanya percaya dan
mengamalkan sebagian ajaran-Nya dan menolak sebagian yang lain.
Dari ayat-ayat di atas dapat
dipahami bahwa kepribadian muslim itu ialah kepribadian yang timbul dan
didasari oleh iman dan selalu mentaati agama Islam, bagi seluruh unsur dirinya
dan dalam kehidupan berpedoman Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Pembinaan kepribadian dimulai dari
usaha Pembina melihat dan mengamati potensi-potensi pribadi, sehingga dapat
mengarahkan langkah santri. Pengamatan terhadap karakter dan watak santri
menjadi rujukan untuk memoles dan menatanya. Usaha pembinaan kepribadian dapat
dilaksanakan dalam kegiatan pelatihan kepemimpinan, melalui kegiatan
kepemimpinan dapat dilaksanakan pengamatan terhadap karakter dan watak santri,
sekaligus pembekalan (pengembangan) kecerdasan-kecerdasan personality santri.
Contoh lain adalah kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, seperti kepramukaan.
Wadah ini menjadi ajang mengekspresikan kemampuan diri dan mengembangkan bakat
santri.
Kemudian shalat juga merupakan
salah satu cara membentuk kepribadian manusia sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Ankabut ayat 45:
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Artinya :“Bacalah kitab
(Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan
(ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah
yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[32]
Dari ayat di atas jelaslah bahwa
faedah shalat ialah dapat melatih manusia untuk selalu bersikap dan bertindak
disiplin baik dari cara berpakaian, gerakan dan waktu.orang yang shalat harus
bersih pakaian, badan dan tempat dari kotoran atau najis. Kemudian shalat dapat
mencegah perbuatan keji dan mungkar, karena orang yang shalat itu selalu
mengigat Allah setiap waktu. Oleh sebab itu, ia takut berbuat kejahatan, baik
secara tersembunyi maupun terang-terangan sebab ia mempunyai kepercayaan, bahwa
Allah selalu melihat dan mengawasinya. Jadi dengan melaksanakan shalat akan
tumbuh pribadi yang baik dan jauh dari kejahatan serta tercela. Dan akan lebih
baik lagi jika shalat itu dilakukan berjama’ah, karena dengan shalat berjama’ah
akan tumbuh rasa persaudaraan dan kebersamaan yang kuat.
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007), h. 152
[2] http://muslim-madjid.blog.
Friendster. com/tulisan artikel,
[3] ibid
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), h. 263
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h. 1
[6] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
(Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2001), h. 85-90
[7] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. Ke-5, (Jakarta : Kalam Mulia,
2006),h. 82
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : PT. Syaamil
Cipta Media), h. 342
[9] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Jakarta
: Ciputat Pers, 2002), h. 16
[10] Hawari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut Islam, (Surabaya
:Al-Ikhlas, 1993), h. 131
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, op. cit, h.
290
[12] Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling,
(Depdiknas : Rineka Cipta), h. 16
[13] Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan sekolah,
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), h. 1
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam,
(Jakarta :
Rajawali Press, 2001), h. 328-330
[15] Ramayulis, op, cit, 2002, h. 149
[16] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h. 96
[17] Abu Ahmadi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 240
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, h.
401
[19] M. Hafi Anshari, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya :
Usaha Nasional, 1983), h. 66-69
[20] Zakiah Daradjat, op, cit, h. 10
[21] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, h.
420
[22] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Diterjemahkan oleh Euis Erinawati dari Ushul at-Tarbiyah
Al-Isalamiyah wa Asalibiha Fi al-Bait wa al-Madrasatwa al-Mujtama’, (Jakarta :
Gema Insani Press, 1995), h. 32
[23] Alex Sobur, Psikologi umum, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 155-156
[24] Ramayulis, op, cit. h. 97
[25] Abdul Mujib, op. cit, h. 319
[26] Alex Sobur, op. cit, h, 163
[27] Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), h. 74-75
[28] Abuddin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2001), h. 176-178; Lihat
juga Imron Arifin, op, cit, h. 38-39
[29] Djaali, op, cit, h. 2
[30] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, h.
63
[31] Ibid , h. 32
[32] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tercemahnya, op. cit. h.
401
No comments:
Post a Comment