B.
KENAKALAN
SISWA
1.
Pengertian
Kenakalan Siswa
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
nakal artinya adalah”suka berbuat kurang baik (tidak menurut, menggangu dan
sebagainya. Terutama bagi anak-anak) atau buruk kelakuan”. Kenakalan adalah
turunan dari bentuk kata nakal, artinya sifat nakal atau perbuatan nakal.
Kenakalan termasuk tingakah laku yang menyalahi norma dan hukum yang berlaku
dalam masyarakat. Umumnya pelaku kenakalan adalah anak-anak dan remaja.
Masa remaja menurut Mappriare (1982)
berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13
tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Jadi siswa MTsN adalah remaja yang
belajar di sekolah. Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju masa
dewasa. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal
dari bahasa latin adolescere yang artinya” tumbuh atau tumbuh untuk
mencapai kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang
luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik(Hurlock, 1991).
Pandangan ini didukung oleh piaget yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja
adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam msyarakat
dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah
tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.[1]
Remaja sesungguhnya tidak mempunyai tempat
yang jelas , mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi juga belum
dapat diterima secara penuh untuk masuk kegolongan orang dewasa. Remaja ada
diantara anak-anak dan orang dewasa, remaja dikenal dengan fase “mencari
jati diri”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara
maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dkk, 1989). Namun fase remaja
merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada fase yang amat potensial,
baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik.[2]
WHO memberikan defenisi tentang remaja yang
menyangkut 3 kriteria yaitu biologis, psikologis, dan social ekonomi, yaitu
remaja adalah suatu masa dimana :
a.
Individu
berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksual
b.
Individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa
c.
Terjadi
peralihan dari kebergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
relatif mandiri.[3]
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu
yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya yaitu :
a.
Masa
remaja sebagai periode penting
b.
Masa
remaja sebagai periode peralihan dari tahap perkembangan ketahap berikutnya
c.
Masa
remaja sebagai periode perubahan fisik dan psikisnya
d.
Masa
remaja sebagai usia bermasalah. Karena masa diri mandiri sehingga mereka ingin
mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain
e.
Masa
remaja sebagai masa mencari identitas
f.
Masa
remaja sebagai usia menimbulkan ketakutan karena cendrung masuk dalam
berperilaku merusak sehingga butuh bimbingan dari orang dewasa
g.
Masa
remaja sebagai masa yang tidak realistik, karena menjelang berakhirnya masa
remaja mereka tidak mau melepaskan kehidupan mereka yang bebas, mereka
menganggap masa remaja adalah masa bebas yang penuh bahagia akan hilang.
h.
Masa
remaja sebagai ambang masa dewasa, para remaja semakin gelisah untuk melepaskan
masa remaja menuju usia kematangan.[4]
Kenakalan siswa (remaja) atau dikenal dalam
bahas latin dengan istilah Juvenile delinquency. Juvenile artinya
anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada
periode remaja, Deliquent bearti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat
ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain.[5]
Kenakalan remaja (Juvenile delinquency)
adalah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda
merupakan gejala sakit secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan
oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangakan bentuk
tingkah laku yang menyimpang.[6]
Menurut Bimo Walgito, Juvenile delinguency
adalah tiap perbuatan yang bila dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu
merupakan kejahatan, jadi perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan anak,
khususnya anak remaja.[7]
Jadi yang dimaksud dengan kenakalan remaja
adalah perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan mengabaikan norma-norma yang
berlaku sehingga menyebabkan keresahan didalam keluarga dan masyarakat.
2.
Bentuk-Bentuk
Kenakalan Siswa
Perbuatan anak-anak remaja yang bersifat
melawan hukum dan norma yang ada dimasyarakat dikategorikan kedalam problema
sosial. Pada dasarnya problema-problema sosial menyangkut nilai moral dan
sosial. Karena menyangkut tata kelakuan yang berlawanan dengan hukum-hukum dan
bersifat merusak.
Adapun wujud perilaku Delinquen ini adalah :
a.
Kebut-kebutan
dijalan yang mengganggu keamanan lalu lintas, dan membahayakan jiwa sendiri
serta orang lain.
b.
Perilaku
ugal-ugalan, berandalan, yang mengacaukan ketentraman masyarakat sekitar.
c.
Perkelahian
antargang, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku, sehingga kadang-kadang
membawa korban jiwa.
d.
Membolos
sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi ditempat-tempat
terpencil sambil melakukan tindakkan susila.
e.
Kriminalitas
anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi,
memeras, maling, mencuri, mencopot, merampas, menjambret, menyerang, merampok,
melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya,mencekik, meracun,
tindak kekerasan, dan pelanggaran lainnya.
f.
Berpesta
pora, sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas.
g.
Perkosaan,
agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual yang didorong oleh
depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintannya
oleh seorang wanita dan lain-lain.
h.
Kecanduan
dan ketagihan bahan narkoba yang bergandengan dengan tindak kejahatan.
i.
Tindak-tindak
immoral seksual secara terang-terangan, tampa
rasa malu dengan cara yang kasar, ada seks dan ada cinta bebas dan tanpa
kendali.
j.
Homo
seksual, oral dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan
sadistis.
k.
Perjudian
dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga mengakibatkan
kriminalitas.
l.
Komersialisasi
seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis, pembunuhan oleh ibu-ibu yang tidak
kawin
m.
Tindakan
ekstrim dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh
anak-anak remaja.
n.
Perbuatan
a-sosial dan anti-sosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak
dan remaja.
o.
Penyimpangan
tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak, (Adler, 1952)[8]
Dalam kondisi statis gejala juvenile
delinquency atau kejahatan remaja merupakan gejala sosial yang sebagian dapat
diamati serta diukur dengan kualitas dan kuantitas kedurjanaannya, namun
sebagian lagi tidak bisa diamati dan tetap tersembunyi, hanya bisa dirasakan
akses-aksesnya. Sedang dalam kondisi dinamis, gejala perkembanagan berlangsung
secara progresif sejajar dengan perkembangan teknologi, industri dan
urbanisasi.
Pada saat masyarakat dunia menjadi semakin
maju dan meningkat kesejahteraan materilnya, kejahatan anak-anak remaja juga
ikut meningkat, maka ironisnya, ketika negara-negara dan bangsa-bangsa menjadi
lebih kaya dan makmur, kemudian kesempatan
untuk maju bagi setiap individu menjadi semakin banyak, kejahatan remaja
justru semakin berkembang dengan pesat, dan ada pertambahan dari kasus-kasus
anak-anak lain immoral.
3.
Faktor Pendorong Timbulnya Kenakalan Remaja
Kenakalan siswa/remaja (Juvenile
delinquency) didorong oleh beberapa faktor diantaranya :
a.
Faktor
Pribadi
Setiap manusia di lahirkan dalam keadaan
fitrah. Bimbingan dan asuhan yang di berikan orang tua akan dapat membawa
individu ke arah yang benar sehingga potensi yang baik yang ada dalam dirinya
akan berkembang, sebaliknya tanpa bimbingan dari orang tua, bisa jadi potensi
yang kurang baik yang ada dalam diri individu akan muncul, berbagai sifat keji
akan melekat pada individu tersebut.
Anak adalah amanah yang di berikan oleh
Allah SWT kepada orang tuanya. Orang tua harus menjaga amanah yang diberikan
itu dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan bimbingan,
perhatian, materi, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Al-Ghazali kepribadian
manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan. Jika manusia
membiasakan perbuatan baik maka ia akan menjadi baik, begitupun sebaliknya.[9]
Pengaruh agama dalam kehidupan individu
adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa perlindungan, rasa seks dan
rasa puas. Perasaan positif ini lebih lanjut akan lebih menjadi pendorong untuk
berbuat baik. Agama dalam kehidupan individu sering menjadi motivasi dan nilai
etik juga merupakan harapan.
Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam
mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang
dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempelajari unsur
kesesuaian dan ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang
untuk berbuat sesuatu sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan
sesuatu tindakan seseorang akan terkait kepada ketentuan mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.
Agama juga sebagai pedoman bagi
perilakunya, seseorang melaksanakan
perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap kasih sayang dari
suatu yang gaib (supernatural).[10]
Disamping itu karena individu juga dikuasai oleh naluri agresif dan tidak
rasional yang mewakili nafsu yang jelek. Serta pengalaman yang diterima sejak
masih kanak-kanak dan kemudian ditambah dan diperkuat ketika yang bersangkutan
memasuki masa remaja.
b.
Faktor
Keluarga
Pada tahap perkembangan awal sebagian besar
waktu anak dihabiskan di lingkungan rumah dan dalam pengawasan keluarga. Pada
saat itu, perkembangan mental, fisik dan sosial individu ada dibawah bimbingan
orang tua yang terbiasa dengan pola yang berlaku dalam rumah tangga. Orang tua
adalah pendidik utama bagi anak. Orang tua dituntut untuk menjaga anaknya
supaya mereka terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini terdapat
dalam firman Allah SWT dalam surat
At-Tahrim ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR $ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî ×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt ©!$#
!$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur
$tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Dari ayat diatas terlihat prioritas
penjagaan dan pemeliharaan kepada setiap diri diberi hak mulai dari menjaga dan
memelihara diri sendiri, kemudian keluarga.
Berdasarkan dengan permasalahan ini,
penanggung jaab utama terhadap kenakalan siswa/remaja adalah orang tuanya.
Kondisi keluarga dapat menyumbang terhadap terjadinya kenakalan, kurang
perhatian dari orang tua serta pengalaman kehidupan beragama orang tua yang kurang
baik.
Keluarga merupakan lingkungan yang
terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya anak mendapat
pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil,
akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan
terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu keluarga memiliki
peranan yang penting dalam perkembangan anak, keluarga yang baik akan
berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan
berpengaruh negatif. Oleh karena itu, sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga
dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka
sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinguency juga besar dari
keluarga.[11]
Adapun keadaan keluarga yang dapat
menjadi sebab timbulnya delinguency yaitu:
1.
Broken
Home
Menurut pandangan umum pada broken
home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan remaja. Keadaan keluarga
yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home akan tetapi dalam
masyarakat modern sering terjadi suatu gejala adanya broken home semu ialah:
kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga
(ayah dan ibu) mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak
sempat memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya. Dalam situasi
keluarga yang seperti ini anak muda mengalami frustasi, mengalami
komflik-komflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat mudah mendorong
anak menjadi delinquent.
2.
Jumlah
Anak Yang Kurang Menguntungkan
Anak yang mendapat perlakuan istimewa
dari orang tua seperti anak sulung, anak bungsu dan anak tunggal, kebanyakan
mereka dimanjakan oleh orang tua dan keinginan selalu dikabulkan. Akan membuat
konflik dalam jiwanya apabila suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan
akhirnya mereka akan frustasi. Pada keluarga besar, jumlah anggota keluarga
yang banyak, biasanya mereka kurang pengawasan dari orang tua dan keinginan
anak-anak yang tidak terpenuhi, akan membuat mereka mencari jalan pintas dengan
mencuri, menipu, memeras dan lain-lain.
c.
Faktor
Sekolah
Ajang pendidikan kedua bagi anak-anak
setelah keluarga ialah sekolah. Masa remaja merupakan masa pembinaan dan
pendidikan di sekolah terutama pada masa-masa permulaan. Selama dalam proses
pembinaan dan pendidikan di sekolah biasanya terjadi interaksi antara sesama
anak remaja dan dengan para pendidik.
Dalam kenyataan sering terjadi perlakuan
guru di sekolah yang mencerminkan ketidakadilan. Kenyataan lain adanya
sangsi-sangsi yang sama sekali tidak menunjang tercapainya tujuan pendidikan, keadaan
tersebut masih diperberat lagi dengan adanya ancaman yang tidak putus-putusnya
disertai disiplin yang ketat, kurang adanya interaksi yang akrab antara
pendidik dan murid serta kurangnya kesibukan belajar dirumah. Kondisi negatif
di sekolah tersebut kerap memberi pengaruh langsung atau tidak langsung
terhadap anak, sehingga dapat menimbulkan kenakalan siswa atau remaja.
Untuk itu perlu kerja sama yang baik antara
seluruh pihak sekolah, kepala sekolah, staff, guru dan masyarakat khususnya
orang tua murid, maka akan terciptalah proses belajar mengajar yang baik, dan
siswa akan memperoleh pendidikan yang baik pula.
d.
Keadaan
Masyarakat
Keadaan masyarakat dan kondisi lingkungan
dalam berbagai corak dan bentuknya akan berpengaruh baik langsung maupun tidak
langsung terhadap anak-anak remaja dimana mereka hidup berkelompok.
Perubahan-perubahan masyarakat yang berlangsung secara cepat dan ditandai
dengan peristiwa-peristiwa yang menegangkan, seperti: persaingan dibidang
perekonomian, pengangguran, keanekaragaman mass-media, fasilitas rekreasi yang
bervariasi pada garis besarnya mempunyai korelasi relevan dengan adanya
kejahatan pada umumnya, termasuk kenakalan anak siswa atau remaja.
Pada dasarnya kemiskinan dan pengangguran
akan mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia sebab akan mempengaruhi
kestabilan mental pada anak dan remaja. Tidak jarang siswa atau remaja dari
keluarga miskin yang memiliki perasaan rendah diri sehingga terdorong untuk
melakukan kejahatan terhadap hak milik orang lain, seperti: pencurian,
penipuan, penggelapan dan lain-lain.[12]
Aktifitas lain yang menyumbang terhadap
kenakalan siswa/remaja adalah pergaulan bebas diantara pria dan wanita. Peluang
untuk itu antara lain disebabkan sikap tak acuh masyarakat, munculnya
pusat-pusat hiburan serta pertunjukan musik yang berbaur pornoaksi dan
pornografi yang sering ada di lingkungan masyarakat.
Pada dasarnya, kenakalan siswa/remaja juga
menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat untuk dapat berperan aktif
dalam mengatasi hal ini, agar dapat tercipta lingkungan yang aman dan tentram.
[1] Muhammad Ali Dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan
Peserta Didik. (Jakarta
: PT Bumi Ksara_2004), Hal. 9.
[2] Ibid, Hal 10.
[3] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) Hal 9.
[4] Elizabet B. Hurlock.
Psikologi Perkembangan, (Jakarta :Erlangga, 1996) Hal, 207-208
[5] Kartini Kartono, Kenakalan Remaja. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Hal 6
[6] Ibid, Hal 6
[7] Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 1993) Hal 5
[8] Kartini Kartono, Op Cit,
hal 214
[9] A. Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1997), hal. 117
[10] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : Raja Grafindi
Persada, 1998), H. 257
[11] Sudarsono, Op. Cit, h. 125
[12] Sudarsono, op. cit, h. 28
No comments:
Post a Comment